Urutannya harus benar sehingga proses yang dihasilkan juga UU yang berkualitas"
Jakarta (ANTARA News) - Kepolisian Negara Republik Indonesia meminta DPR untuk membahas RUU KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) terlebih dahulu, sebelum membahas RUU KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang saat ini sedang digodok parlemen.

"Kami dorong dibahas dulu KUHP-nya, kemudian KUHAP-nya, baru setelah itu undang-undang Kepolisan, Kejaksaan. Itu saran dari kami," kata Kapolri Jenderal Pol Sutarman usai melantik Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti di Mabes Polri, Jakarta, Selasa.

Menurut Sutarman, saran ini demi peraturan dan prosedur berjalan selaras dan efektif. "Kalau dibahas duluan RUU KUHAP dan Undang-Undang Kepolisiannya tidak akan sinkron, karena itu undang-undang harus runut dan efektif," ucapnya.

Dia menjelaskan RUU KUHP dibahas terlebih dahulu agar hukum positifnya jelas, baru setelah itu diatur prosedurnya, hukum acara dalam RUU KUHAP.

"Setelah hukum positifnya selesai (RUU KUHP), kemudian menyangkut KUHAP terkait bagaimana cara untuk melakukan penangkapan, pemanggilan, merancang penyidikan dan cara-cara lain. Yang harus dilaksanakan tidak boleh menyimpang karena itu terkait dengan hak-hak asasi manusia," tuturnya.

Kemudian, lanjut dia, rumusan undang-undang penegak hukumnya bisa diatur dalam undang-undang Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan aparatur penegak hukum lainnya.

"Urutannya harus benar seperti itu sehingga proses yang dihasilkan juga UU yang berkualitas," jelasnya.

Dia menilai perubahan undang-undang adalah keputusan politik antara DPR dan pemerintah, jika undang-undangnya berkaitan dengan hukum maka harus didiskusikan dengan penegak hukum.

"Tetapi yang terkait dengan KUHP, kriminalisasi perbuatannya, bicarakan dengan masyarakat perbuatan apa saja yang akan dikriminalisasi, karena undang-undang adalah perjanjian dengan masyarakat," ujarnya.

Dia juga menilai ada beberapa undang-undang yang dikriminalisasi, kemudian dihapus, seperti pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Sutarman mengaku tidak setuju dengan rumusan pasal yang mengatur hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan.

"Kalau itu diterapkan tidak akan bisa dilakukan. Buat apa undang-undang kalau tidak bisa dilakukan, masih banyak yang harus didiskusikan, tidak bisa pokoknya-pokoknya saja, yang melaksanakan kan aparatur penegak hukum. Sudah kasih terus masukan ke DPR saya akan mengawal," tandasnya.

Keberadaan hakim pemeriksa pendahuluan atau hakim komisaris dianggap akan membatasi ruang gerak lembaga penegak hukum dalam bertugas.

Sementara itu, kejahatan korupsi dikhawatirkan akan dimasukan di dalamnya, sehingga tidak lagi tergolong kejahatan luar biasa.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014