Jakarta (ANTARA News) - Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan G Pandu Setiawan mengatakan, gangguan jiwa merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya bunuh diri. "Gangguan jiwa adalah faktor predisposisi terpenting terjadinya bunuh diri," kata mantan Direktur sejumlah rumah sakit jiwa itu di Jakarta, Jumat. Menurut dia, risiko bunuh diri pada orang yang mengalami gangguan jiwa 10 kali lebih besar dibandingkan orang-orang yang tidak mengalami gangguan jiwa. Ia menjelaskan pula bahwa selain kondisi sosial ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial dan kesehatan fisik yang buruk, gangguan jiwa seperti depresi, gangguan bipolar, penyalahgunaan zat addiktif dan alkohol serta skizofrenia, menurut Pandu, juga terkait erat dengan kejadian bunuh diri. Namun, ia melanjutkan, gejala-gejala gangguan kejiwaan tersebut sebenarnya dapat dikenali sejak dini dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mencegah terjadinya bunuh diri. "Semua itu merupakan faktor risiko dan bila kita bisa mengenali faktor risiko maka kita masih punya harapan untuk mencegahnya karena pada dasarnya ada satu proses yang membuat seseorang memutuskan untuk bunuh diri," katanya. Terkait dengan hal itu ahli jiwa dari Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Nurmiati Amir menjelaskan pula bahwa pelaku bunuh diri umumnya mengalami keraguan selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk bunuh diri, merusak diri sehingga menyebabkan kematian. "Kebanyakan orang yang mau bunuh diri bersikap ambivalen, antara ingin dan tidak. Kesempatan ini bisa digunakan untuk mempengaruhi mereka supaya membatalkan niat tersebut," katanya. Untuk itu, ia melanjutkan, keluarga dan orang-orang yang berada di sekitar lingkungan mereka harus mampu mengidentifikasi faktor resiko dan memahami karakteristik pelaku. Ia menjelaskan orang-orang yang beresiko tinggi melakukan bunuh diri umumnya adalah orang yang mengalami gangguan mood seperti merasakan kesedihan berkepanjangan, merasa suram, putus harapan dan hilang minat. Kondisi itu bisa terjadi akibat kehilangan pekerjaan, status, pendapatan, perasaan malu, bersalah dan tak berdaya, sakit kronik, penyalahgunaan zat adiktif atau keharusan untuk menghadapi kehilangan secara tiba-tiba. Bila tanda-tanda itu ditemui, lanjut Nurmiati, keluarga atau orang terdekat pelaku bisa membina hubungan dengan pelaku agar mereka memiliki kesempatan untuk membagi beban.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006