Jakarta (ANTARA News) - Penyakit kaki gajah (filariasis/elefantiasis) hingga kini masih menjadi endemi di ratusan kabupaten di Indonesia, kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan I, Nyoman Kandun. "Masih banyak, di Bekasi dan di ratusan kabupaten lain di Indonesia," ujarnya di Jakarta, Rabu. Ia mengemukakan, angka kejadian penyakit kaki gajah di daerah-daerah tersebut masih di atas satu persen. Penyakit yang disebabkan oleh cacing jenis wuchereria bancrofti, brugia malayi dan brugia timori itu, menurut Kandun, masih ditemukan di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua, Irian Jaya Barat, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia menjelaskan, infeksi cacing filariasis jenis brugia malayi umumnya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan jenis wuchereria bancrofti ditemukan di Jawa, Papua dan Irian Jaya Barat (Irjabar). "Sementara itu, di Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi umumnya ditemukan campuran antara malayi dan bancrofti, sedangkan di NTT campuran brugia timori dan wuchereria bacrofti," ujarnya. Data Sub-Direktorat Filariasis Departemen Kesehatan Tahun 1999 menyebutkan angka kejadian penyakit kaki gajah di Indonesia bervariasi, antara 0,5 persen hingga 19,64 persen dengan rata-rata 3,1 persen. Penderita kronis berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh sub-direktorat tersebut pada tahun yang sama mencapai 6.233 orang di 1.533 desa di 231 kabupaten di Indonesia. "Dalam buku terbaru yang diterbitkan Subdit Filariasis jumlahnya bahkan dinyatakan telah meningkat menjadi 8.000 orang," kata dr. Taniawati Supali, ahli filariasis dari Departemen Parasitologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Hasil survei "darah malam" yang dilakukan Departemen Parasitologi FKUI di beberapa daerah pada 2001-2002 juga menunjukkan bahwa kisaran angka kejadian filariasis di sejumlah daerah, seperti Bekasi, Alor (NTT), Bonebolanggo (Gorontalo), Parigi (Sulawesi Tengah) dan Sikka (Maumere) hingga saat ini masih tinggi, yakni antara satu persen hingga 18 persen. Kandun mengatakan, guna mengantisipasi penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk itu pemerintah secara berkala melakukan penyigian dengan memeriksa sampel darah penduduk pada malam hari, atau "darah malam", karena cacing filaria dan anak cacing filaria (mikrofilaria) terlihat dalam darah hanya pada malam hari. Pemerintah, kata dia, juga melakukan pengobatan massal gratis bagi penderita filariasis dengan memberikan Albendazole dan Dietil Karbamisin Sitrat (DEC) satu tahun sekali selama lima tahun berturut-turut untuk memberantas penyakit yang menyerang kelenjar getah bening itu. "Program eliminasi dilakukan sejak 2002, dan targetnya tahun 2020 kita bisa mengeliminasi penyakit ini," jelasnya. Ia menambahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) juga mempunyai target yang sama. Beberapa lembaga penelitian dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun, menurut dr. Taniawati, membantu upaya pemerintah untuk mencapai target tersebut dengan memberikan pengobatan massal secara gratis kepada masyarakat di daerah endemi filariasis. "Kami melakukan program pengobatan di Pulau Alor pada 2002, dan hasilnya cukup memuaskan," kata Taniawati. Ia menambahkan, pengobatan massal yang dimaksudkan untuk memutuskan rantai penularan filaria pada populasi di daerah endemis akut, serta menurunkan angka kesakitan limfedema, elefantiasis dan hidrokel (pembengkakan pada buah zakar akibat infeksi filaria) itu telah dapat menurunkan prevalensi kasus menjadi sekitar satu persen pada 2006. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006