Jakarta (ANTARA News) - Dalam dua bulan terakhir, Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 287 ayat (1), dan Pasal 292 di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi sorotan sejumlah media dan pemerintah.

Bahkan, sepekan terakhir, pemerintah mendorong percepatan revisi UU ini demi mencegah dan menegakkan  hukum terhadap para pelaku kekerasan dan pelecehan seksual anak.

Delik-delik kekerasan seksual itu marak diperbincangkan menyusul rangkaian kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti di Jakarta International School dan Emon di Sukabumi.

Namun, apakah pasal-pasal dalam hukum pidana materiil itu mujarab menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual yang notabene anak-anak atau, sebagaimana termuat dalam RUU KUHP yaitu, mencegah tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi menyayomi masyarakat?

Dilihat dari isinya, Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 menyebut setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannnya atau dengan orang lain, dipidana dengan pindana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Sementara, Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

KUHP pasal 287 ayat (1) menyebut barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Kemudian Pasal 292 KUHP menyebut orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Mengacu pada hukuman pidana penjara dan denda, terutama Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 pada Undang-Undang Perlindungan Anak, ancaman terhadap tindak kejahatan kekerasan seksual tergolong keras.

Namun, pasal-pasal pengancam itu agaknya tidak membuat takut atau jera pelaku kekerasan seksual, terbukti dengan kemunculan kasus-kasus kekerasan seksual di sejumlah daerah di Tanah Air.

Awal Mei lalu Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima laporan 3.339 kasus kekerasan atau kejahatan terhadap anak yang 58 persen diantaranya kasus kekerasan seksual terhadap anak.

"Pada tahun ini saja kami sudah menangani sebanyak 32 kasus kejahatan terhadap anak dengan jumlah korban mencapai 240 anak yang mayoritas berusia di bawah 11 tahun baik laki-laki maupun perempuan," kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait.

Komnas PA meminta amandemen Undang-Undang Perlindungan Anak karena sanksi hukum terhadap pelaku pedofil hanya tiga tahun dan maksimal 15 tahun, sebalikya Arist ingin  hukuman minimal terhadap pelaku kekerasan seksual anak ini adalah 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup, serta suntik kebiri.

Pedofilia

Kekerasan seksual terhadap anak dapat disebabkan perilaku pedofilia atau trauma menjadi  korban yang pernah mengalami kekerasan serupa.

Pedofilia, mengutip Ensiklopedia Britannica, adalah gangguan psikoseksual pada orang dewasa yang mengalami fantasi seksual tentang atau melibatkan tindakan seksual terhadap anak praremaja, baik sesama jenis kelamin atau berbeda jenis kelamin.

Penyebab perilaku pedofilia antara lain faktor psikososial atau biologis seperti kadar hormon abnormal, khromosom abnormal, dan sebagainya.

Guru Besar Kejiwaan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof Dr. dr. Ahmad Fanani Sp.Kj menjelaskan gangguan kejiwaan pedofil sulit dihilangkan dan hanya bisa dikendalikan.

Ahmad  mengatakan perilaku pedofilia telah muncul sejak pelaku berusia muda dan gangguannya mulai meningkat seiring dengan pertumbuhan produksi hormon seksual.

"Berdasarkan penelitian, sebagian korban ternyata ada juga yang menikmati sehingga malah ada yang kemudian melanjutkan. Korban bisa kecanduan," kata dokter spesialis kejiwaan itu.

Sementara ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan hukuman suntik kebiri kepada  pelaku kekerasan seksual tidak akan menyelesaikan masalah. Penguji kejiwaan tersangka kekerasan seksual Emon ini ingin menekankan aspek pencegahan kekerasan seksual.

Sebaliknya, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual anak harus ditingkatkan karena korban harus menanggung dampak psikologis perbuatan mereka selama seumur hidup.

Revisi UU


Pemerintah sendiri akhirnya tergugah bertindak terhadap pelaku kekerasan seksual dengan merevisi undang-undang.

"Perangkat Undang-Undang perlu dilakukan penguatan, revisi dan penyempurnaan saat dijalankan sehingga ada efek tangkal, efektif dan hukuman yang tidak ringan bagi pelaku kejahatan itu," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa hari lalu.

Presiden mengatakan pemerintah akan segera membuat program yang berlaku menyeluruh mulai  dari tingkat RT hingga tingkat nasional, juga di sekolah dan lingkungan sejenis untuk mencegah kejahatan dan kekerasan terhadap anak.

Langkah pertama adalah sosialisasi masif dan berlanjutan serta program edukasi kepada semua golongan masyarakat mengenai pencegahan kejahatan terhadap anak dan tindakan-tindakan serta hukuman bagi pelaku.

Berikutnya, respon cepat dari semua pihak, terutama kalangan pemerintah dan kepolisian, bila ada kasus pelecehan atau kekerasan terhadap anak.

Presiden menjamin pemerintah akan memberikan perhatian kepada rehabilitasi anak yang menjadi korban, terutama pendampingan secara psikologis sehingga memulihkan cedera mental atau trauma mereka.

Disamping sanksi hukum pidana materiil, sepertinya pelu juga ada sanksi sosial dari masyarakat, terutama lingkungan di mana pelaku tinggal.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Inang Winarso mengatakan sanksi sosial dapat berupa penyisihan pelaku kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan tempat tinggal.

"Kita harus kendalikan para pelaku agar tidak mengulang perbuatannya," kata Inang. "Di dalam keluarga, anak-anak harus diajarkan misal jika ada orang dewasa yang memegang alat-alat kesehatan reproduksinya harus ditolak."

Pencegahan juga dapat diterapkan di lingkungan aktivitas anak dengan membentuk sistem pengawasan madani.

"Ada kader masyarakat yang turut mengawasi aktivitas anak-anak. Dan, jika ada gejala mencurigakan, kader telah mengetahui ke mana harus melapor yang dapat direspon langsung oleh polisi," kata Inang.

Sanksi sosial akan menjadi hukuman tambahan terhadap pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak.

Oleh Imam Santoso
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014