Sao Paulo (ANTARA News) - Apa yang disampaikan oleh Felipe, seorang wartawan lokal Brasil di taman kota di Prada de Se, pusat Kota Sao Paulo, ternyata benar.

Sehari sebelumnya, Selasa, lelaki berusia sekitar 30 tahun yang tampak ramah itu, mengatakan bahwa akan terjadi demo pada Rabu (Kamis WIB) yang kemungkinan diikuti sekitar 10.000 orang.

"Kalau Anda ingin menyaksikan demo, datang saja ke stasiun Paraiso besok, masyarakat dari kelompok yang tidak punya rumah akan berunjuk rasa menentang Piala Dunia 2014 ini," kata Felipe kepada wartawan Antara Atman Ahdiat.

Ketika keluar dari di stasiun kereta api bawa tanah (Metro) di Paraiso, sekitar pukul 15.00 waktu setempat, seperti yang disarankan Felipe, arak-arakan pendemo yang umumnya menggunakan baju warna merah, susah memenuhi jalan.

Cuaca dingin setelah beberapa jam sebelumnya turun hujan deras disertai angin kencang, tidak menyurutkan semangat para pendemo untuk menyampaikan protes kepada pemerintah Brasil karena telah mengeluarkan anggaran yang sangat besar untuk mengelar Piala Dunia 2014.

Demo tersebut merupakan yang terbesar selama berlangsungnya Piala Dunia 2014 sejak 12 Juni itu digelar kelompok MTST (Gerakan Buruk Yang Tidak Punya Rumah/Homeless Workers Movement) dan diikuti lebih dari 5.000 orang.

Antara pun kemudian menyusup ke dalam kerumunan pengunjuk rasa yang melakukan arak-arakan sepanjang empat kilo meter dari stasiun Paraiso menuju pusat kota.

Karena tujuan demonstrasi tersebut adalah menentang besarnya anggaran untuk Piala Dunia 2014, tidak terlihat satu pun pendemo yang menggunakan kostum tim nasional berwarna kuning, maupun pernik-pernik pesta sepak bola itu.

Suasana unjuk rasa berjalan dengan tertib dan damai, malah lebih mirip arak-arakan HUT Kemerdekaan di Indonesia karena warga yang berada di pinggir jalan terlihat memberikan tepuk tangan kepada massa yang lewat.

Sementara polisi berjaga-jaga di setiap persimpangan jalan untuk mengatur lalu lintas.

Tiga helikopter milik kepolisian juga terbang rendah untuk memantau situasi.

Tidak terlihat sikap beringas dari pengunjuk rasa yang rata-rata berusia muda dan membawa bendera warna merah dengan lambang MTST.

Beberapa pengendara motor tampak berteriak-teriak karena kesal dengan kemacetan yang ditimbulkan.

Mulai Surut
Aksi unjuk rasa menentang pemerintah pimpinan Presiden Dilma Rousseff tampak mulai surut akhir-akhir ini, terutama sejak Piala Dunia 2014 secara resmi dibuka pada 12 Juni di Stadion Corinthians, Sao Paulo.

Tidak seperti saat penyelenggaraan Piala Konfederasi tahun lalu yang merupakan uji coba menjelang Piala Dunia 2014, dengan jutaan warga secara serentak turun ke jalan, unjuk rasa kali hanya dalam skala kecil.

Seperti yang terjadi di Fortaleza, kota bagian utara Brasil, hanya sekitar 200 orang yang berunjuk rasa menjelang pertandingan Brasil vs Meksiko yang berakhir imbang 0-0.

Dalam beberapa bulan menjelang Piala Dunia 2014, unjuk rasa di Brasil mulai terkotak-kotak dan tidak lagi murni untuk memperjuangkan perbaikan nasib masyarakat miskin untuk mendapatkan perumahan yang layak, serta layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik.

Menurut Romo Ferdinand Doren, seorang dosen teologi asal Indonesia di Institut Teologi Sao Paulo, beberapa unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan oleh petugas kereta api justru sudah tidak mendapat simpati dari masyarakat pada umumnya.

"Seperti pemogokan oleh petugas kereta api, mereka hanya memperjuangkan nasib sendiri yaitu kenaikan gaji, sementara masyarakat umum justru terkena dampak akibat pemogokan tersebut," kata Ferdinand, pria asal Flores yang sudah 15 tahun bermukim di Sao Paulo.

Pesta Piala Dunia 2014 juga sudah diseret-seret ke wilayah politik dan dipakai untuk menyerang Presiden Dilma pada pemilihan presiden Oktober mendatang.

"Kalau Brazil menang, itu mungkin bisa mendongkrak popularitas Dilma, tapi kalau kalah, akan dijadikan alasan untuk lebih menekan dia," katanya.

Tapi setidaknya sampai saat ini, perhatian masyarakat di negara gila bola itu lebih tertuju kepada Piala Dunia yang untuk pertama kali digelar di Brasil setelah 1950.

Hari pertandingan yang diikuti oleh Brasil dijadikan sebagai hari libur nasional untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat memberikan dukungan kepada tim kebanggaan mereka.

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014