Oleh Musthafa Luthfi Sana'a (ANTARA News) - Masyarakat Arab, khususnya di Mesir, pada akhir Oktober 2006 melakukan kilas balik mengenai peristiwa Perang Suez yang mengubah jalannya sejarah kawasan Timur Tengah (Timteng) 50 tahun lalu. Perang Suez atau dalam istilah dunia Arab adalah "al-udwan al-tsulatsi" (agresi tiga negara) atas Mesir sebagai konsekwensi pengumuman nasionalisasi Terusan Suez oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Sekitar tiga bulan setelah pengumuman tersebut, tepatnya 29 Oktober 1956, tiga negara, yakni Inggris, Prancis, dan Israel, melakukan agresi ke negeri Sungai Nil yang baru tiga tahun merayakan revolusi menumbangkan rezim Raja Farouq yang pro-Inggris. Seperti umumnya tindakan agresi, negara-negara agresor pada mulanya memenangi pertempuran. Israel yang oportunis memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menduduki Semenanjung Sinai, sementara itu Inggris dan Prancis menduduki Terusan Suez. Perang yang berlangsung sekitar 10 hari hingga 7 Nopember 1956 setelah keluarnya resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menandai berakhirnya perang secara resmi. Target perang dari ketiga negara agresor tersebut tidak tercapai. Inggris, misalnya, kehilangan segalanya, karena tidak lagi sebagai negara imperium yang disegani, karena gagal mempertahankan Terusan Suez, dan tidak beberapa lama kemudian juga kehilangan pangkalan militer di Aden setelah revolusi rakyat Yaman tahun 1963. Salah satu korban langsung perang tersebut adalah Perdana Menteri (PM) Inggris, Anthony Eden, selaku insinyur perang 10 hari itu. Ia mengundurkan diri setelah Kerajaan Inggris Raya tumbang untuk selama-lamanya di kawasan Timteng. Sementara itu, Prancis menghadapi pemberontakan besar-besaran di daerah jajahannya, terutama di Arab dan Afrika. Salah satu negeri imperialis Eropa itu akhirnya hengkang dari Aljazair, Tunis, dan sejumlah negara Afrika. Sedangkan, Israel yang tadinya ingin mengontrol sebagian terusan yang sangat vital untuk melintasi kawasan Eropa-Afrika-Asia itu juga gagal mencapai sasarannya. Israel hanya berhasil "memeras" Prancis untuk membantu membangun instalasi nuklirnya di gurun pasir Demona. Tak lama kemudian, negeri zionis yang didirikan negara-negara besar Barat pada 1948 itu berpaling ke Amerika Serikat (AS) sebagai "ayah angkat" barunya, setelah negeri ini muncul sebagai adidaya baru menggantikan Inggris dan Prancis. Bagi Mesir dan dunia Arab umumnya, Perang Suez tersebut telah menumbuhkan rasa Pan Arabisme di kalangan bangsa Arab yang berakhir dengan kemerdekaan seluruh negara Arab yang semula berada di bawah jajahan Inggris dan Prancis. Hal itu agaknya tercermin kembali dalam Perang Irak yang telah berlangsung sekira 3,5 tahun, yang makin menunjukkan bahwa sejarah kembali berputar, karena tanda-tanda AS dan Inggris mencapai targetnya di negeri itu makin jauh "panggang dari api". Pembicaraan di kalangan warga AS dan Inggris akhir-akhir ini bukan lagi seputar antara bertahan dan menarik diri, karena sudah ada semacam konsensus di kalangan analis starategi di dua negara tersebut bahwa perang di Irak telah gagal, serta hal yang menjadi pro dan kontra adalah seputar jadwal dan kronologi penarikan pasukan. Pasalnya negeri Babilonia itu telah berubah menjadi negeri berdarah sebagai kuburan massal warga Irak di tingkat pertama dan pasukan agresor di tingkat kedua. "Kenyataan yang dihadapi pemerintahan Bush di Irak serupa dengan yang dihadapi pemerintahan Nixon di Veitnam dan pemerintahan Inggris di Aden," ujar analis Arab Prof. Abdul Bari Athwan, Senin (30/10). Yang dinyatakan analis independen Arab itu bukanlah mengada-ada, karena Presiden Bush beberapa hari sebelumnya akhirnya mengakui bahwa situasi yang dihadapi pasukan adidaya itu di Irak menyerupai situasi di Vietnam. Kerugian materi dan pasukan di samping rakyat sipil akibat salah perhitungan saat mengagresi Irak sudah tidak terhitung. Pakar ekonomi AS yang meraih hadiah Nobel di bidang ekonomi Joseph Stiglitz memperkirakan kerugian langsung negaranya sekitar 500 milyar dolar bila pasukan AS dipertahankan hingga empat tahun di Irak. "Sedangkan kerugian tidak langsung dapat mencapai dua triliun dolar, baik pasukan dipertahankan atau ditarik dari Irak," kata Stiglitz seperti dikutip harian Al-Quds Al-Arabi, Senin. Sedangkan, kerugian jiwa di pihak pasukan pendudukan sudah hampir tiga ribu orang tewas dan puluhan ribu luka-luka dan cacat seumur hidup. Pada bulan Oktober saja, lebih 100 pasukan AS tewas yang merupakan terbesar sepanjang tahun 2006. Sementara itu, sumber terpercaya menyebutkan lebih dari 650.000 rakyat sipil Irak tewas akibat agresi dan balas dendam antar golongan selama 3,5 tahun pendudukan bala tentara koalisi pimpinan AS-Inggris di negeri produsen minyak terbesar kedua dunia itu. Di lain pihak, setiap hari, ribuan rakyat Irak menyelundup keluar ke negara-negara tetangga terutama Suriah, Turki, dan Yordania untuk menyelamatkan diri dari "lingkaran setan" insiden bersenjata. Sebanyak empat juta rakyat negeri itu yang hidup terasing di sejumlah negara selama masa pemerintahan diktator Saddam Husein hanya bisa gigit jari melihat negeri mereka yang makin porak-poranda. Keinginan untuk kembali tinggal keinginan, tanpa mengetahui tibanya waktu untuk menginjakkan kaki di bumi pertiwinya. Apalagi, batas waktu yang diberikan PM Irak Nour Al-Maliki sekitar enam bulan untuk mengatasi situasi, merupakan keputusan mustahil karena supremasi negara masih jauh dari kemungkinan bisa terwujud. Bila pasukan AS sebanyak 140.000 personel ditambah pasukan Inggris sebanyak 7.000 personel dan pasukan multinasional sebanyak 25.000 orang, selain 200.000 personel keamanan Irak terbukti gagal menciptakan keamanan selama 3,5 tahun, maka jeda waktu enam bulan bagi pemerintahan Mailiki merupakan mission impossible. Laporan Departemen Pertahanan AS (Pentagon) juga menguatkan bahwa sebagian besar pasukan Irak masih sangat kental rasa sektariannya. Dari 300.000 personel keamanan dan tentara yang direkrut belakangan ini, ternyata sebanyak 115.000 orang hanya menerima "gaji buta", karena tetap tinggal di rumah dan melalaikan tugasnya. "Kunci utama menegakkan demokrasi adalah keamanan. Sementara keamanan sangat sulit terwujud tanpa pelucutan senjata milisi sektarian, dan pelucutan mustahil dilakukan, karena Irak tidak memiliki angkatan bersenjata yang loyal kepada negara," ujar Abdul Aziz Bin Osman bin Saqar dalam artikelnya di harian Sahrqul Awsat. Analis Arab Saudi yang juga Ketua Pusat Riset Teluk itu mengingatkan bahwa tiga kekuatan yang menjadikan darah rakyat di Irak terus menggenang, yakni pasukan pendudukan, milisi bersenjata, serta tentara dan keamanan Irak yang baru dibentuk. Oleh karena itu, dalam beberapa hari belakangan ini, pemerintahan Bush makin yakin dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya bahwa cara militer sudah tidak mampu lagi mengatasi situasi. Menhan AS, Donald Ramsfeld, juga mengakui bahwa mengatasi situasi di Irak tidak bisa dengan pendekatan militer semata, tapi juga harus berdimensi politik dan sosial, sehingga ditunjuklah mantan Menlu AS, James Baker, untuk mengupayakan jalan keluar terhormat. "Meskipun Bush tidak menentukan jadwal waktu untuk menarik diri dari Irak, namun dengan penunjukan James Baker merupakan isyarat akan keluar dari Irak secara terhormat," kata Mousa Abu Obeid di harian Al-Bayan. Menurut salah seorang pakar politik Arab itu, perubahan taktik yang disampaikan Bush beberapa hari lalu tak lebih sebagai sarana mendukung usaha Baker agar negeri adidaya yang tidak berdaya di negeri Sungai Eufrat itu keluar secara terhormat. Dengan demikian, masyarakat dunia makin jelas menyaksikan benang merah yang menghubungkan Perang Suez (agresi tiga negara) setengah abad lalu dengan agresi di Irak dewasa ini yang kesudahannya hampir dapat dipastikan, yakni kekalahan bagi sang agresor. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006