Jakarta (ANTARA News) - Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) meminta pekerja Indonesia agar mengurus dan memiliki Sertifikat Kompetensi, sehingga mereka dapat bersaing di area perdagangan bebas ASEAN (AFTA - ASEAN Free Trade Area) pada 2015.

"BNSP sangat miris dan prihatin karena dari begitu banyak pekerja di Tanah Air, hingga saat ini baru 3 juta orang yang memiliki sertifikat  kompetensi. Kami menduga, mahalnya biaya sulitnya membuat sertifikat sebagai penyebab utamanya," kata Kepala BNSP, Adjat Daradjat dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis.

Menurut pria yang sudah 34 tahun berkecimpung di bidang ketenagakerjaan, seharusnya pembuatan sertifikat kompetensi jangan mempersulit pekerja.

"Kalau biayanya mahal, sulit membuatnya, pasti sedikit pekerja yang berminat membuat sertifikat kompetensi. Padahal, sertifikat kompetensi sangat dibutuhkan oleh pekerja. Apalagi menjelang diberlakukannya ASEAN Free Trade Zona," katanya.

Bila pekerja asal Indonesia tak memiliki sertifikat kompetensi, mereka akan tergerus oleh jaman. Lebih dari itu, upah kerja mereka jauh di bawah standar.

Untuk itu Ajat menyarankan, semestinya setiap perusahaan bisa melakukan sertifikasi kompetensi terhadap karyawannya. Kalau pembuatan sertifikasi kompetensi harus dilakukan oleh lembaga tertentu, maka jumlah pekerja yang memperoleh sertifikat kompetensi tetap sedikit.

"Alangkah baiknya, jika perusahaan melakukan ujian sertifikasi kompetensi di perusahannya berdasarkan standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Sehingga akan semakin banyak pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi," ujarnya.

Menurut mantan dosen di Universitas Parahiyangan (Unpar) dan Universitas Nasional (Unas) itu, seharusnya pada 2015 mendatang, sudah ada 20 juta pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi.

"Namun dengan kenyataan yang ada, kita baru menargetkan pada 2019, bisa mencetak 20 juta pekerja bersertifikat kompetensi," katanya.

"Jika seorang pekerja telah memiliki sertifikat kompetensi, maka yang bersangkutan memiliki hak untuk berontak jika mendapat upah tak sesuai. Termasuk kepada perusahaan asing yang mempekerjakannya," katanya.

Menyoal biaya pembuatan sertifikat kompetensi, Ajat, memang tak bisa menentukan biaya besarnya biaya yang harus dikeluarkan seorang pekerja.

"Semuanya tergantung pada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang melakukannya. Namun BNSP menyarankan agar LSP tak mematok biaya yang mahal dan tak mempersulit seorang pekerja untuk memperoleh sertifikat kompetensi," demikian Ajat Darjat.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014