Jakarta (ANTARA News) - Para pakar kecelakaan pesawat luar negeri menyimpulkan bahwa jika melihat bukti serpihan dan jenazah-jenazah yang ditemukan maka tidak mungkin AirAsia QZ8501 meledak di udara, sebaliknya pesawat ini seutuhnya menghajar Laut Jawa dan pecah sebelum karam ke dasar laut.

Serpihan Airbus 320-200 dari AirAsia QZ8501 itu ditemukan sekitar 48 jam sejak dinyatakan hilang sewaktu menjalani rute terbang dari Surabaya menuju Singapura Minggu pagi lalu dengan membawa 162 penumpang dan awak.

Pensiunan pilot asal Amerika Serikat, John Cox, yang kini menjadi konsultan penerbangan, berkata, "Saya kini melihat pintu (darurat) dan laporan mengenai sebuah bagian besar (pesawat) berada di dasar laut yang adalah petunjuk, bukan bukti konklusif, bahwa pesawat itu masih menjadi satu bagian ketika menabrak laut."

"Jika ujung sayap, moncong dan ekor pesawat ditemukan di area yang sama, maka bisa disimpulkan bahwa pesawat itu (dalam keadaan) utuh (saat) menabrak air," sambung dia.

Jacques Astre, presiden lembaga konsultan penerbangan International Aviation Safety Solution, menyebutkan "fakta bahwa medan (ditemukannya) puing-puing pesawat relatif kecil menunjukkan pesawat patah karena menabrak air, bukan selagi terbang."

Sementara itu mantan pilot yang kini kepala program manajemen penerbangan pada Republic Polytechnic, HR Mohandas, mengatakan hal yang sama, tapi jika jenazah-jenazah yang ditemukan dalam keadaan utuh.

"Begitu dekatnya medan (ditemukannya) puing-puing pesawat ke lokasi terakhir pesawat diketahui juga menunjukan bahwa pesawat tersebut menukik dengan cukup cepat," kata Astre.

Area yang dimaksud adalah area sekitar 10 km dari lokasi terakhir pesawat itu diketahui di sekitar Laut Jawa.

Disebut-sebut bahwa pilot QZ8501 berusaha menghindari awan hujan dengan meminta menara pengawas udara (ATC) di Jakarta untuk berbelok dan menaikkan ketinggian pesawat pada 38.000 kaki. Namun ATC kemudian hanya mengizinkan sampai ketinggian 32.000 kaki karena ada pesawat lain yang terbang pada ketinggian 38.000 kaki.

Masalahnya ketika izin diberikan, ATC tidak bisa lagi berkomunikasi dengan sang pilot sehingga timbul kecurigaan telah terjadi kerusakan fatal pada pesawat itu.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa bahwa udara di wilayah antara Belitung dan Pontianak saat pesawat itu terbang memang terganggu jarak pandang yang pendek karena sangat berawan oleh awan tebal cumulonimbus pada ketinggian sampai 45.000 kaki.

Awan semacam ini bisa menghasilkan petir dan kondisi cuara berbahaya lainnya seperti angin ribut, hujan es dan sesekali angin puting beliung (tornado).

Mark D. Martin, pendiri dan CEO Martin Consulting, berpandangan, "Pada situasi yang tidak menguntungkan karena harus memasuki awan cumulonimbus pada ketinggian terbang antara 31.000 kaki dan 38.000 kaki, adalah biasa pesawat menjadi turun naik dengan keras, mengembunkan permukaan kendali pesawat yang bisa membekukan sistem autopilot, manuver terbang pesawat yang agresif dan pesawat secara dramatis kehilangan ketinggian sampai 5.000 kaki per menit."

Kejadian serupa terjadi pada Juni 2009 ketika Air France Flight AF447 menghujam Samudera Atlantik ketika terbang dari Rio de Janeiro menuju Paris.

Saat itu otoritas penerbangan menyimpulkan bahwa AF447 jatuh setelah pilot tidak bisa melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi ketidakkonsistenan sementara pada pengukur kecepatan terbang pesawat. Ini terjadi karena kristal es mengalangi sebuah tabung yang mengukur kecepatan terbang pesawat.

"Mungkin saja situasi yang mirip itu terjadi pada Penerbangan QZ8501. Guna menghindari kondisi cuaca yang ekstrem, pilot pesawat ini bisa jadi mengambil beberapa langkah, termasuk mungkin menaikkan ketinggian namun ini membutuhkan daya lebih besar.

"Hal ini dilakukan berbarengan dengan kondisi cuaca berlawanan (tidak bersahabat), termasuk turbulensi, dan mungkin saja membentuk es pada permukaan pesawat pada ketinggian terbang yang tinggi, yang bisa mematikan sistem autopilot pesawat tersebut," kata HR Mohandas.

Dia melanjutkan, "Dengan jarak pandang yang pendek atau tidak ada sama sekali, serta tanpa autopilot, Anda tidak akan tahu apa yang ada di depan Anda dan awak pesawat pun mengalami disorientasi. Pada keadaan semacam itu, pesawat bisa menjadi bergerak turun tak terkendali."


sumber: The Straits Times






Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014