Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq meminta Presiden Joko Widodo memperkuat sistem meritokrasi di Kementerian Luar Negeri, salah satunya dengan mengangkat duta besar dari pejabat karir di kementerian tersebut.

"Pemerintah khususnya presiden harus memperkuat sistem meritokrasi di Kementerian Luar Negeri seperti di berbagai negara maju (mengangkat dubes dari pejabat karir Kemlu)," katanya di Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan Kemlu sudah sejak Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha menerapkan sistem meritokrasi di internal kementerian tersebut.

Hal itu, menurut dia, untuk memenuhi pos struktural, fungsional dan kebutuhan diplomat di kantor perwakilan Indonesia di luar negeri.

"Sistem itu sudah didesain sedemikian rupa, ketika ada porsi calon dubes dari non-karir maka sebenarnya bisa mengganggu sistem meritokrasi di Kemlu," ujarnya.

Dia mencontohkan dari 33 nama calon dubes saat ini, 1/3 non-karir namun dubes yang pulang merupakan diplomat karir.

Menurut dia apabila hal itu terjadi maka sistem "in" dan "out" mengalami proses ketidakseimbangan karena banyak diplomat karir yang selesai bertugas tidak memiliku pos jabatan di Kemlu sesuai level kepangkatannya.

"Ketika ada ketidakseimbangan dalam meritokrasi maka akan banyak diplomat karir selesai bertugas dan ketika kembali ke Jakarta tidak memiliki pos jabatan sesuai level kepangkatannya," katanya.

Mahfudz mengatakan dubes negara sahabat yang ditempatkan di Indonesia 100 persen merupakan diplomat karir dan menjadi sistem baku di berbagai negara.

Menurut dia peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mewajibkan seorang dubes berasal dari diplomat karir namun jangan sampai mengisi pos tersebut oleh orang yang tidak pernah berkarir di dunia diplomatik.

"Karena diplomat memuliki kemampuan, ilmu, etika dan protokorel sendiri," ujarnya.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengajukan 33 nama calon duta besar Indonesia untuk negara-negara sahabat ke DPR.

Ke-33 nama itu antara lain:

1. Hasan Bagis, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab;

2. Safira Machrusah, Alffer, Aljazira;

3. Bambang Antarikso, Baghdad, Irak;

4. Husnan Bey Fananie, Baku, Azerbaijan;

5. Ahmad Rusdi, Bangkok, Thailand;

6. Yuri Octavian Thamrin, Brussel, Belgia dan merangkap Keharyapatihan Luksemburg dan Uni Eropa;

7. Helmy Fauzi, Kairo, Mesir;

8. Mayjen TNI (Purn) Mochammad Luthfie Wittoeng, Caracas, Venezuela;

9. Mansyur Pangeran, Dakar, Senegal;

10. I Gusti Agung Wesaka Puja, Den Haag, Belanda merangkap OPCW;

11. Marsekal Madya TNI (Purn) Muhammad Basri Sidehabi, Doha, Qatar;

12. Ibnu Hadi, Hanoi, Viietnam;

13. Alfred Tanduk Palembangan, Havana, Kuba;

14. Wiwiek Setyawati Firman, Helsinski, Finlandia;

15. Iwan Suyudhie Amri, Islamabad, Pakistan;

16. Muhammad Ibnu Said, Kopenhagen, Denmark;

17. Rizal Sukma, London untuk Inggris dan Irlandia;

18. Tito Dos Santos Baptista, Maputo, Mozambique;

19. Mohammad Wahid Supriyadi, Moscow, Rusia;

20. Musthofa Taufik Abdul Latif, Muscat, Oman;

21. R Soehardjono Sastromihardjo, Nairobi, Kenya;

22. Marsekal Madya TNI (Purn) Budhy Santoso, Panama City, Panama;

23. Dian Triansyah Djani, New York untuk utusan tetap PBB;

24. Diennaryati Tjokrisuprihatono, Quito, Ekuador

25. Agus Maftuh Abegebriel, Riyadh, Arab Saudi

26. Amelia Achmad Yani, Sarajevo, Bosnia-Herzegovina

27. I Gede Ngurah Swajaya, Singapura

28. Sri Astarai Rasjid, Sofia, Bulgaria

29. R Bagas Hapsoro, Stockholm, Swedia

30. Octaviano Alimudin, Tehran, Iran

31. Antonius Agus Sriyono, Vatican

32. Eddy Basuki, Windhoek, Namibia

33. Alexander Litaay, Zagreb, Kroasia.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015