Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia berkomitmen agar proses penempatan TKI dilakukan melalui jalur resmi yang legal, dan disepakati bahwa biaya tambahan penempatan TKI akan dibebankan kepada pengguna (majikan) di Malaysia.

Dalam pertemuan bilateral antara Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia Dato' Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi di Jakarta, Sabtu, disepakati bahwa Indonesia hanya akan mengirim tenaga kerja ke Malaysia melalui jalur legal dan pemerintah Malaysia juga hanya menerima tenaga kerja Indonesia dari jalur legal.

Kedua pemerintah pun sepakat mengenai kewajiban pihak pengguna (majikan) untuk menanggung biaya-biaya tambahan dalam poses penempatan TKI ke Malaysia sehingga tidak membebani TKI yang hendak bekerja di sana.

Untuk pembahasan mengenai penempatan dan perlindungan TKI secara lebih detail dan teknis, pemerintah kedua negara akan melakukan pertemuan bilateral yang rencananya akan digelar 1 Oktober 2015 di Kualalumpur, Malaysia.

“Hari ini saya bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia yang juga Menteri Hal Ehwal Dalam Negeri Malaysia Dato’ Seri Dr. Ahmad Zahid Hamidi membicarakan sejumlah hal yang terkait dengan persoalan ketenagakerjaan Indonesia di Malaysia,” kata Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri seusai pertemuan itu.

Turut hadir dalam kesempatan itu Duta besar Indonesia untuk Malaysia Herman Prayitno, Duta besar Malaysia untuk Indonesia Dato Zahrin Mohamed Hasyim dan pejabat Eselon I dan II Kementerian Ketenagakerjaan.

Hanif mengatakan bahwa dalam pertemuan dibicarakan soal penempatan TKI ke Malaysia yang pada intinya kita bersama-sama berkomitmen untuk mendorong agar proses penempatan itu bisa dilakukan legal jadi kita mengirim yang legal dan Malaysia menerima yang legal.

“Kita sepakat hanya melakukan penempatan TKI secara legal. Jika ada pihak-pihak (stakeholder) dari masing-masing negara yang tidak melalui jalur resmi maka harus diberi sanksi sesuai dengan ketentuan dan undang-undang dari negara yang bersangkutan,” kata Hanif.

Menurut Hanif, dibahas juga  beberapa isu yang selama ini cukup ramai di Indonesia menyangkut soal ada masalah penanganan cek kesehatan, visa, soal security dan hal lain yang dikeluhkan oleh sejumlah PPTKIS di Indonesia.

“Pada intinya dalam pertemuan ini bahwa Datuk Sri. menegaskan bahwa seluruh biaya untuk itu semua diberikan kepada majikan, jadi tidak dibebankan pada TKI. Ini tentunya mengurangi beban TKI yang bekerja, di Malaysia,” kata Hanif.

Kedepannya, kata Hanif, dibutuhkan sebuah proses penempatan yang terkoordinasi dan terkonsolidasi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia mengontrol arus mobilitas tenaga kerja dengan lebih baik dari aspek perlindungan dan proses penempatan.

"Kita sampaikan juga beberapa isu sebagai tindak lanjut dari implementasi protocol amandement MoU 2011, antara lain ada soal permintaan agar paspor TKI bisa dipegang oleh yang bersangkutan, soal one day off untuk TKI dan  terus pembayaran gaji melalui rekening bank."

“Itu sebagian sudah disetujui oleh beliau dan pemerintah Malaysia. namun sebagian lain termasuk soal permohonan kita untuk peningkatan gaji TKI Kabinet Malasia oleh beliau," kata Hanif.

Tapi intinya dari seluruh pembicaraan ini nantinya akan dikonkritkan lagi dalam pertemuan kedua belah pihak yang rencanakan akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2015 di Kuala Lumpur,” kata Hanif.

Hanif mengatakan pertemuan ini merupakan follow up dari pertemuan Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Malaysia Februari lalu. Pertemuan ini pun menindaklajuti  pertemuan joint working group (JWG)  yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia sekitar bulan Mei lalu.

"Soal penempatan satu pintu, hanya formulasi dan teknis pelaksanaan satu pintu ini belum disepakati. Intinya dalam proses penempatan itu dibutuhkan pihak yang menempatkan secara jelas ada yang menerima secara jelas, sehingga kemudian tidak membuat proses penempatan menjadi complicated juga untuk menekan yang bersifar illegal. Ini yang akan kita komunikasikan pada bulan Oktober,” kata Hanif.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015