Bisnis model dan undang-undang Jepang tidak memungkinkan bantuan atau kredit konsensi itu diberikan ke perusahaan Jepang
Jakarta (ANTARA News) - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta Jepang dipastikan tidak akan berpartisipasi dalam megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung, namun antara pemerintah kedua negara masih intensif menjajaki kerja sama pembangunan proyek infrastruktur lain, kata Menteri PPN Sofyan Djalil di Jakarta, Rabu.

Sofyan, yang baru kembali ke Jakarta setelah menemui Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga di Tokyo, mengatakan swasta Jepang tidak dapat terlibat dalam skema kerja sama bisnis (business to business) proyek kereta cepat, karena tidak sesuai dengan model bisnis dan regulasi pemerintah Jepang.

"Bisnis model dan undang-undang Jepang tidak memungkinkan bantuan atau kredit konsensi itu diberikan ke perusahaan Jepang," ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil.

Rencana kerja sama Jepang dalam proyek ini awalnya menggunakan skema bantuan antarpemerintah, dengan syarat adanya jaminan dari anggaran pemerintah Indonesia.

Belakangan, setelah Jepang menuntaskan studi kelayakan tahap pertama proyek kereta cepat, Tiongkok masuk dan memulai persaingan antara dua negara raksasa Asia itu.

Menurut hasil studi Jepang biaya pembangunan proyek kereta cepat sekitar 6,2 miliar dolar AS, sedangkan menurut Tiongkok 5,5 miliar dolar AS.

Indonesia sudah memutuskan bahwa proyek bernilai puluhan triliun rupiah ini hanya bisa dilaksanakan dengan skema "business to business", tanpa menggunakan anggaran, jaminan, atapun Penyertaan Modal Negara (PMN).

"Kita sampaikan pendekatan kereta cepat ini adalah b to b. Itu yang menyebabkan kita merasa model bisnis itu yang bisa menawarkan adalah Tiongkok," ujar dia.

Pemerintah akhirnya menyampaikan secara resmi sikap terakhir soal kereta cepat ini pada pertemuan Senin (28/9) lalu di Tokyo.

Sofyan mengakui terdapat pandangan dari berbagai ahli dan juga lembaga keuangan bahwa mega proyek berbiaya tinggi ini sulit dijalankan dengan skema "business to business", melainkan perlu menggunakan jaminan pemerintah.

Anggaran pemerintah Indoensia, lanjutnya, hanya digunakan untuk proyek-proyek infratsruktur strategis dan sesuai dengan program dan proyek priroitas pembangunan.

Misalnya, anggaran dari APBN akan lebih akan dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur di luar Jawa, dan sejumlah kawasan terdepan.

Dalam pertemuan itu, Sofyan juga menyampaikan kepada Jepang, Indonesia tetap terbuka untuk kerja sama dengan Jepang dalam proyek-proyek infrastruktur lain. Misalnya, pembangunan infrastruktur pengganti pelabuhan di Cilamaya, Jawa Barat.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015