Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan gerakan yang dilakukan segelintir warga masyarakat yang merusak stabilitas nasional, apalagi dengan cara yang melawan hukum atau inkonstitusional, harus dihentikan justru dengan cara-cara demokratis serta menjunjung tinggi supremasi hukum. "Gerakan dan cara-cara berpolitik yang nyata-nyata menggoncangkan stabilitas nasional kita, apalagi bersifat inkonstitusional, tentu harus kita hentikan, meskipun tetap dengan cara-cara yang demokratis dan menjunjung tinggi supremasi hukum," kata Presiden di Istana Merdeka, Rabu malam, ketika menyampaikan Pidato Awal Tahun 2007. Pada acara penyampaian pidatonya, Kepala Negara didampingi Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, serta tiga Staf Khusus-nya, yakni Dino Patti Djalal, Andi Mallarangeng, serta Heru Lelono. Yudhoyono mengatakan semua dinamika dan konflik kepentingan harus dikelola secara damai, tanpa harus disertai dengan terjadinya goncangan serta ketidakstabilan politik nasional. "Di masa lalu, ada instrumen dan cara-cara yang bersifat otoritarian untuk mempertahankan stabilitas nasional. Cara apa pun seolah bisa dilakukan demi menjamin tegaknya stabilitas nasional. Kini dalam alam demokrasi, cara-cara dan perangkat otoritarian itu tentu tidak cocok lagi. Tetapi bagaimanapun, stabilitas nasional tetap kita perlukan," tegas Presiden yang dalam pidato ini membahas situasi masa lalu serta harapannya kepada masyarakat pada masa mendatang di bidang politik, ekonomi, serta sosial. Kepada seluruh lapisan masyarakat, diingatkan bahwa selama membangun masyarakat dan bangsa ini maka diperlukan stabilitas politik. "Dalam demokrasi, perbedaan dan benturan kepentingan diniscayakan. Kritik dan ketidaksetujuan atas berbagai kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah juga diberikan wadah dan itu merupakan hak politik yang harus dihormati. Yang penting, semua itu dalam bingkai konstitusi, aturan main serta etika yang sama-sama harus kita junjung tinggi," kata Kepala Negara. Tidak selalu sejalan Sementara itu, ketika berbicara tentang masalah luar negeri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa dalam hal kemandirian, maka Indonesia juga tampil dengan posisi dan pandangan yang tidak selalu harus sejalan dengan pandangan kelompok mayoritas. "Untuk menunjukkan beberapa contoh, dalam voting IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional, red) menyangkut program energi nuklir Iran, maka posisi Indonesia berbeda dengan mayoritas. Demikian juga dalam voting yang menyangkut rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Myanmar, posisi Indonesia juga berbeda dengan suara terbanyak," kata Presiden. Sementara itu, dalam menghadapi konflik bersenjata di Lebanon akibat invasi Israel maka Indonesia memilih posisi untuk mendukung gencatan senjata dan kemudian mengirimkan pasukan Indonesia sebagai bagian dari Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB. Sementara itu, ketika berbicara tentang hubungan dengan bekas provinsi ke-27 Timor Timur yang kini menjadi negara merdeka, Timor Leste, Kepala Negara menjelaskan kedua pemerintah sepakat membentuk Komisi kebenaran dan Persahabatan dan bukannya komisi pakar atau "commission of experts" seperti yang dikehendaki PBB dan berbagai negara lain. "Risiko ini kita ambil karena untuk menyelesaikan masa lalu kedua negara, maka Indonesia dan Timor Leste, dua bangsa inilah yang menurut pandangan saya lebih tepat dan lebih berkepentingan dibandingkan dengan pihak-pihak lain," tegas Presiden. Khusus mengenai kebijakan di bidang luar negeri, Presiden menegaskan bahwa Indonesia akan tetap mempertahankan politik luar negeri atas pilihan Indonesia sendiri yang akan diabdikan untuk kepentingan nasional tanpa mengabaikan segi-segi kemanusiaan sejagad. TNI Dalam Pidato Awal Tahun 2007 tersebut, Presiden juga menyinggung masalah pertahanan dan TNI, antara lain dengan mengatakan embargo yang dilancarkan oleh negara-negara Barat telah menimbulkan pengalaman pahit. "Ketika dijatuhi sanksi hal itu sangat menganggu kesiagaan dan operasionalisasi pesawat, kapal serta kendaraan-kendaraan tempur kita," kata Yudhoyono yang pangkat terakhirnya di dalam TNI adalah jenderal berbintang empat. "Meskipun dengan upaya gigih kita akhirnya embargo dan sanksi dicabut sejak akhir tahun 2005, pengalaman pahit itu merupakan "lonceng peringatan" bagi kita untuk dapat membangun kemampuan pertahanan yang tangguh, termasuk industri pertahanannya, sehingga kita bisa lebih mandiri lagi," kata Presiden. Dicontohkan, PT Dirgantara Indonesia Bandung, PT Pindad yang juga berlokasi di ibukota Provinsi Jawa Barat itu serta PT PAL di Surabaya harus semakin dihidupkan, misalnya dengan menghasilkan pesawat dan helikopter serta senjata yang dibutuhkan TNI-AD, dan korvet bagi TNI-AL. (*)

Copyright © ANTARA 2007