Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika meminta pemerintah mengkaji lagi wacana pembentukan pengelola (agregator) tunggal gas di Tanah Air.

"Agregator gas itu mundur, akan terjadi monopoli dan bertentangan dengan kontrak-kontrak yang ada. Mereka mendapatkan entitlement berhak dibawa kemana saja. Saya tidak mengatakan tidak setuju, tetapi dipikirkan dulu," ujar dia di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, agregator gas akan memonopoli sehingga dikhawatirkan jika perusahaan yang ditunjuk dikuasai asing, maka keistimewaan memonopoli akan dimiliki perusahaan asing.

Jika pemerintah tetap melanjutkan wacana tersebut, ia mengusulkan BUMN yang dikuasai pemerintah seperti Pertamina Gas (Pertagas) lebih tepat menjadi agregator gas.

"Jangan perusahaan tempat bercokol asing dan tidak seluruhnya milik negara. Menurut saya tidak layak, jangan sampai keistimewaan monopoli pada perusahaan yang dikuasai asing. Pertagas tidak apa-apa sepanjang tidak dijual ke asing," tutur Kardaya.

Menurut dia, jika pemerintah tetap ingin memberikannya kepada BUMN lain, maka saham BUMN tersebut harus dimiliki negara dengan pemerintah membeli ulang (buy back) saham yang telah dikuasai asing.

Kardaya berpendapat saat ini merupakan waktu yang tepat untuk membeli kembali modal dari asing karena harganya lebih murah.

Selain itu, untuk agregator gas, ia meminta pemerintah mempunyai kriteria yang jelas untuk perusahaan yang diberi keistimewaan monopoli, misalnya yang 100 persen dimiliki negara.

Sementara itu, Presiden Jokowi berjanji, akan memperkuat gas sebagai energi alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan dengan mempercepat konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas untuk mengatasi persoalan subsidi BBM yang terus membebani APBN.

Wacana pembentukan agregator tunggal gas beredar, berkaitan dengan platform energi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015