Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tingkat kasasi membatalkan putusan bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 11 Oktober 2006 atas terdakwa kasus pendudukan hutan negara, Darianus Lungguk (DL) Sitorus. Majelis hakim kasasi yang diketuai Parman Soeparman dan beranggotakan Ardjito Alkostar, Mieke Komar, Bahaudin Qaudry, serta Djoko Sarwoko, dalam sidang putusan di Gedung MA, Jakarta, Senin, mengembalikan hukuman delapan tahun penjara bagi DL Sitorus, seperti yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 28 Juli 2006. "Amarnya membatalkan putusan PT DKI Jakarta, mengadili sendiri dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan negara secara tidak sah," tutur salah satu hakim anggota, Djoko Sarwoko. Majelis hakim kasasi, menurut dia, menilai PT DKI Jakarta yang membatalkan putusan PN Jakarta Pusat telah salah dalam menerapkan hukum. Selain menjatuhkan pidana delapan tahun penjara, MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa denda Rp5 miliar subsider enam bulan kurungan, seperti juga yang diputuskan pada tingkat PN. MA juga memerintahkan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23 ribu hektare di kawasan Padang Lawas, Sumatera Utara, yang dikuasai oleh KPKS Bukit Harapan dan PT Torganda, serta lahan seluas 24 ribu hektar di kawasan yang sama yang dikuasai oleh KPKS Parsub dan PT Torus Ganda, disita oleh negara cq Departemen Kehutanan. Majelis hakim kasasi sepakat dengan putusan tingkat PN yang menyatakan Sitorus terbukti melakukan tindak pidana kehutanan, bukan tindak pidana korupsi. Pada tingkat PN, majelis hakim yang diketuai oleh Andriani Nurdin memutuskan Sitorus terbukti melakukan tindak pidana kehutanan. Majelis hakim tingkat PN tidak mempertimbangkan dakwaan kesatu dan dakwaan kedua Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menggunakan UU Korupsi. Majelis hakim hanya mempertimbangkan dakwaan ketiga dan keempat JPU yang menggunakan UU Kehutanan. Majelis hakim menyatakan, Sitorus terbukti melakukan perbuatan mengerjakan dan menduduki secara sengaja kawasan hutan negara tanpa ijin, seperti yang didakwakan JPU dalam dakwaan ketiga pasal 6 ayat 1 jo pasal 18 ayat 2 PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dan pasal 50 ayat 3 huruf a jo pasal 78 ayat 2 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Majelis hakim tingkat pertama itu dalam putusannya berpendapat kerugian negara dalam perkara Sitorus tidak jelas dan pasti karena kerugian negara yang ada hanya berupa potensi dan asumsi. Dalam vonis PN Jakarta Pusat, majelis hakim juga meragukan kerugian negara yang timbul akibat hilangnya tegakan kayu dalam kawasan hutan produksi Padang Lawas karena sebelum terdakwa membuka perkebunan kelapa sawit di kawasan tersebut sudah ada pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) lain di tempat yang sama. Atas putusan tingkat PN itu, DL Sitorus mengajukan banding. Oleh majelis PT DKI Jakarta yang diketuai oleh Basuki, dan beranggotakan Sukijan serta Hartati Sumantoro, DL Sitorus dibebaskan dengan alasan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat diterima. Putusan PT DKI Jakarta itu didasarkan oleh adanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan SK Menhut yang mencabut ijin operasi PT Torus Ganda milik DL Sitorus. Majelis hakim tingkat banding juga menyatakan dakwaan JPU terlalu dini karena masih ada gugatan perdata soal kepemilikan lahan di kawasan Padang Lawas, Sumatera Utara itu, yang masih disengketakan oleh DL Sitorus dan pemerintah. Djoko mengatakan, putusan PTUN sama sekali tidak dipertimbangkan dalam putusan kasasi karena perkara yang ditangani oleh MA sepenuhnya adalah perkara pidana, bukan perkara administratif. JPU menuntut hukuman 12 tahun penjara untuk DL Sitorus, hukuman denda sebesar Rp200 juta subsider enam bulan dan mengganti uang kerugian negara sebesar Rp323,655 miliar. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007