Jakarta (ANTARA News) - Perkembangan ekonomi yang cepat dan reformasi mengakibatkan pertumbuhan cepat urbanisasi yang menimbulkan kenaikan populasi di kota dan perluasan kota.

Pertumbuhan populasi seiring dengan perkembangan ekonomi atau kegiatan ekonomi masyarakat kota mengarah kepada peningkatan kepemilikan kendaraan pribadi sementara sistem transportasi publik yang efisien belum ada.

Di India, 31 persen dari total populasinya tinggal di kawasan-kawasan perkotaan (pooja Singh et al-2013). Konsentrasi populasi di kota-kota lebih besar telah menimbulkan ketakseimbangan dalam sistem perkotaan.

Infrastruktur yang dibutuhkan untuk melayani warga di kota-kota ini tidak cukup, mengarah kepada masalah-masalah transportasi yang memburuk (John Pucher et al 2007).

Selama kurun waktu 1961 hingga 2011, jumlah kota di India meningkat tiga kali lipat dari 2.363 hingga 7.935 dan penduduk naik lima kali lipat dari 79 juta hingga 377 juta.

Sejalan dengan perkembangan itu, warga yang berkendaraan naik jumlahnya 214 kali dari 0,7 juta jadi 142 juta. Di antara kota-kota metro dan mega, Delhi berada di garis paling dalam depan peningkatan tersebut.

Delhi adalah ibu kota India dengan populasi sekitar 16,8 juta dan tersebar di wilayah sekitar 1.483 kilometer persegi. Bangaluru, ibu kota Karnataka, merupakan metropolis terbesar kelima di India dan juga metropolis tercepat di negara itu. Jumlah penduduknya diperkirakan pada tahun 2011 sebanyak delapan juta dan pada 2021 diperkirakan lebih 12 juta.

Kemacetan Jakarta
Jakarta sebagai ibu kota Indonesia dan kota-kota besar di negara berkembang juga menghadapi masalah seperti yang dihadapi Delhi.

Kemacetan lalu lintas merupakan masalah transportasi akut yang memengaruhi para pengguna jalan setiap hari di kota-kota metropolitan.

Pada dasarnya, kemacetan lalu lintas menimbulkan antrean panjang kendaraan, peningkatan konsumsi bahan bakar dan waktu tempuh yang relatif panjang dalam perjalanan. Tambahan lagi waktu terbuang sia-sia, polusi udara dan suara.

Urbanisasi yang meningkat, perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kondisi sosio-ekonomi di kota-kota metropolitan yang modern disertai dengan peningkatan kepemilikan kendaraan.

Pemerintah daerah, provinsi dan pusat berusaha mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain melebarkan jalan raya atau membangun jalan layang dan underpass. Untuk kegiatan-kegiatan tersebut Pemerintah membebaskan lahan dan harganya pun menimbulkan inflasi.

Tak pelak lagi bahwa kota-kota perlu kerja menuju cara-cara yang lebih berkelanjutan untuk mengatasi kebutuhan mobilitas orang-orang.

Penurunan emisi CO2
Beberapa hari menjelang Konferensi Iklim di Paris, hasil-hasil dari proyek lima tahun yang disampaikan oleh Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) menunjukkan bagaimana India dapat mencapai suatu sistem transpor yang berkelanjutan dan membangun kapasitas kota-kota untuk memperbaiki mobilitas dengan menurunkan emisi CO2.

Proyek senilai 2,49 juta euro dan didanai oleh International Climate Initiative pemerintah Jerman itu diluncurkan pada 2010 oleh UNEP dan dilaksanakan oleh Kemitraan UNEP-DTU bersama mitra-mitra kunci di India.

Proyek ini bertema "Promoting Low Carbon Transport in India" telah dirampungkan bersamaan dengan lokakarya yang diadakan pada 26 November 2015 sebagai bagian dari konferensi "8th Urban Mobility India di New Delhi".

Sistem transpor "karbon rendah (low carbon)" berisi intervensi dalam mobilitas berkelanjutan, ekonomi bahan bakar, angkutan barang, promosi bahan bakar nabati, dan listrik yang bebas dari bahan-bahan pencemar, bersama memiliki potensi mengurangi emisi CO2 di India sebanyak 13 miliar ton antara tahun 2010 dan 2050.

"Proyek ini telah memfokuskan energinya pada penyediaan analisis dan pengetahuan yang perlu untuk menciptakan lingkungan kebijakan efektif untuk transpor low carbon di tingkat nasional dan kota," kata Direktur Divisi Tekonologi, Industri dan ekonomi UNEP, Ligia Noronha.

Menurut dia, proyek ini yang dilakukan terkoordinasi dan sistematis, terintegrasi dengan agenda iklim dan keuntungannya dalam promosi pengembangan transpor berkelanjutan di India.

Sebagai negara dengan populasi terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, emisi gas efek rumah kaca per kapita India masih di bawah rerata dunia. Tetapi pertumbuhan populasi dan ekonomi dalam dua dekade terakhir berlipat ganda seiring dengan peningkatan cepat dalam kepemilikan kendaraan pribadi dan perpindahan dari angkutan kereta api ke jalan.

Menurut data tahun 2012, sektor transpor di India bertanggung jawab atas penggunaan 14 persen energi yang terkait dengan emisi CO2, dan juga dampak atas kualitas udara, kesehatan masyarakat, keamanan di jalan raya dan pengembangan perkotaan yang berkelanjutan.

India telah mengesahkan sasaran jangka panjang membatasi peningkatan suhu global menjadi kurang dari dua derajat Celsius, dengan secara sukarela mengurangi intensitas emisinya jadi 20 sampai 25 persen dari level 2005 pada 2020.

Proyek UNEP didisain untuk menghubungkan kebijakan perubahan iklim nasional India dan usaha-usaha untuk mengembangkan dan memperbaiki sistem transpor di kota-kota.

Dengan mempertimbangkan Rencana Aksi Nasional mengenai Perubahan Iklim India, proyek ini, yang dilaksanakan Kemitraan UNEP-DTU di Denmark dan mitra-mitra di India dan diimplementasikan oleh Unit Transpor UNEP di Kenya, bertujuan memperbaiki mobilitas bagi penduduk perkotaan, sambil mengurangi emisi CO2 dengan tujuan akhir menciptakan "low carbon dan kota-kota berkelanjutan".

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015