Kuta (ANTARA News) - Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menegaskan bahwa gerakan hijau yang dilakukan partainya murni untuk penyelamatan lingkungan, bukan gerakan politik untuk menyerang Pemerintah. "Jadi, lebih berupa gerakan kultural. Berbeda dengan Partai Hijau yang ada di Barat yang politis, ingin jatuhkan Presiden," kata Presiden RI periode 1999-2001, saat berbicara dalam "Deklarasi Hijau Menyelamatkan Lingkungan Bersama Gus Dur" di Kuta, Bali, Selasa. Sebelumnya, Senin (26/2), di tempat yang sama PKB mendeklarasikan diri sebagai "Partai Hijau", yakni partai yang menaruh kepedulian lebih pada upaya penyelamatan lingkungan hidup. Lebih lanjut, Gus Dur mengatakan, sebagai partai politik sulit bagi PKB mengelakkan tudingan bahwa yang dilakukannya tidak ditujukan untuk tujuan politis. Namun, PKB harus membuktikan bahwa tidak semua yang dilakukan partai itu bertujuan politis. Mantan presiden itu mengakui bahwa batasan antara gerakan kultural dan gerakan politik sangat samar, namun bukan berarti tidak bisa dibedakan. "Memang agak membingungkan, ketika LSM menyoroti kasus pencemaran di Buyat, itu kultural atau politis. Kalau untuk membela hak rakyat itu kultural, tapi kalau larinya mau menjatuhkan Presiden tentu politis," katanya. Oleh karena itu, Gus Dur menekankan tiga hal sebagai rambu-rambu yang harus diperhatikan PKB dalam memasuki masalah lingkungan. Pertama, menurut mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, PKB harus menggali nilai-nilai budaya dan tradisi lokal yang terkait dengan pemeliharaan lingkungan. Kedua, lanjutnya, tidak mempolitisasi isu lingkungan. Ketiga, ujarnya, memperhatikan kondisi Indonesia yang saat ini masih serba transisional. Pada kesempatan itu juga dilakukan penandatanganan Deklarasi Hijau oleh pengurus DPP dan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain. Ada enam poin di dalam deklarasi tersebut, diantaranya adalah meminta Pemerintah memutus kontrak karya dengan perusahaan tambang migas dan non migas di hutan dan kawasan lindung. Berikutnya meminta pemerintah memberlakukan jeda tebang hutan (moratorium logging) hingga 20 tahun yang diikuti dengan restorasi kawasan hutan, serta mengkaji dan mencabut semua peraturan yang berpotensi merusak lingkungan dan sumber daya alam. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007