Palu (ANTARA News) - Aksi pendudukan kantor di lingkungan Pemkab Banggai Kepulauan (Bangkep), Sulawesi Tengah, yang dilakukan massa rakyat setempat sejak Selasa pekan lalu (20/2) disebabkan sikap frontal Bupati Irianto Malingong yang memasakan kehendak untuk segera memindahkan ibukota kabupaten dari Banggai ke Salakan. "Pemicunya adalah tersiarnya bocoran informasi bahwa Bupati Malingong (yang sejak awal September 2006 berdiam diri di Salakan, ibukota Kecamatan Tinangkung, di Pulau Peleng) telah memerintahkan pejabat daerah untuk membawa semua berkas penting dari Banggai ke Salakan," kata Bahri, warga Kelurahan Lompio, Kecamatan Banggai. Menurut dia, sikap frontal yang diambil Bupati Malingong sudah menentang instruksi Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) HB Paliudju yang sejak November lalu telah memerintahkan dia segera pulang ke Banggai untuk berkantor, namun tidak juga diindahkan. "Bahkan belakangan yang bersangkutan menggencarkan rapat-rapat dengan sejumlah anggota Dewan di Kantor Camat Salakan hingga memerintahkan kepala dinas/badan untuk segera membawa berkas penting ke Salakan guna mempercepat pemindahan ibukota kabupaten, sehingga semakin melukai perasaan sebagian masyarakat," tutur Bahri menambahkan. Sementara itu, Mansur Ba`adi, tokoh masyarakat Bangkep di Palu, mengatakan konflik di Kabupaten Bangkep hingga menimbulkan banyak korban jiwa dan cedera dari warga sipil dipicu oleh upaya Bupati Malingong yang memaksakan kehendaknya untuk segera memindahkan ibukota kabupaten dari kota Banggai ke Salakan, dengan mengabaikan kondisi sosial dan psikologis masyarakat setempat. "Untuk anda ketahui bahwa pemindahan ibukota kabupaten (dalam waktu singkat dan tanpa disertai kompromi) itu sangat ditentang oleh sebagai besar rakyat Bangkep," tuturnya, seraya menambahkan kenyataan tersebut dapat terlihat dari dukungan politik yang diberikan rakyat Bangkep kepada Irianto pada Pilkada Juni 2006 yang mengusung isu percepatan pemindahan ibukota kabupaten, yaitu hanya 32 persen. Ba`adi menyatakan alasan sebagian rakyat menolak percepatan pemindahan ibukota kabupaten Bangkep, antara lain dikarenakan selain infrastruktur yang mendukung jalannya roda pemerintahan di Salakan belum tersedia, juga kondisi sosial ribuan pegawai yang belum lama pindah dari ibukota provinsi dan kabupaten induk ke Banggai sudah harus ditransmigasikan ke Salakan dengan tanpa ada fasilitas tempat tinggal. "Apalagi pemindahan ibukota kabupaten tidak disertai pemberian jaminan secara tegas oleh pemerintah bahwa kota Banggai yang merupakan pusat Kerajaan Banggai selama beratus-ratus tahun akan ditingkatkan statusnya sebagai ibukota daerah tingkat II, semakin menjadikan rakyat di sana marah besar," kata dia. Ia menambahkan UU No.51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali, dan Bangkep yang merupakan produk dari anggota DPR periode 1997-1999 hingga kini masih dipersoalkan oleh masyarakat Bangkep karena menetapkan adanya dualisme ibukota kabupaten di daerahnya. Dalam Pasal 10 UU yang mengatur soal ibukota kabupaten pemekaran di Provinsi Sulteng tersebut justru ditetapkan bahwa Banggai sebagai ibukota Bangkep. Akan tetapi dalam Pasal 11 UU ini (pasal tambahan yang disusupkan pada sidang paripurna DPR) dinyatakan bahwa setelah peresmian Kabupaten Bangkep lima tahun kemudian ibukota dipindahkan ke Salakan. Menurut Ba`adi, penetapan dualisme ibukota kabupaten ini justru telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di tengah masyarakat Bangkep, sebab sebagian rakyat di sana berusaha mempertahankan ibukota kabupaten tetap di kota Banggai dan sebagian lainnya mendesak harus dipindahkan ke Salakan. Apalagi sikap Pemkab dan DPRD Bangkep selama tujuh tahun terakhir terus memacu pembangunan infrastruktur pemerintahan dan fasilitas tempat tinggal bagi para pegawai dan anggota Dewan di kota Banggai, karena meyakini bahwa Banggai sebagai ibukota kabupaten definitif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 UU tersebut. "Saya kira jalan satu-satunya untuk menyelesaikan konflik di Bangkep yaitu perlunya UU No.51/1999 diamandemen oleh DPR sekarang atau dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi, agar masyarakat di sana memperoleh kepastian hukum soal penetapan ibukota kabupaten," katanya. Namun, lanjut dia, langkah selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah mempercepat pemekaran wilayah itu menjadi dua daerah tingkat II, sehingga tidak merugikan kepentingan masyarakat di sana yang sudah terpecah menjadi dua kelompok besar. (*)

Copyright © ANTARA 2007