Dalam konteks revisi yang tidak terlalu lama, ada beberapa hal yang mau kami diskusikan, karena pemerintah menginginkan putusan MK harus dituangkan di dalamnya, tapi terus terang ada yang bisa dan tidak,"
Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat yang mengadakan pertemuan dengan Mahkamah Konstitusi pada hari ini, mengkonsultasikan putusan lembaga yudikatif tersebut yang terkait dengan undang-undang No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang akan direvisi.
"Dalam konteks revisi yang tidak terlalu lama, ada beberapa hal yang mau kami diskusikan, karena pemerintah menginginkan putusan MK harus dituangkan di dalamnya, tapi terus terang ada yang bisa dan tidak," kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman di Gedung MK, Jakarta, Kamis.
Putusan MK tersebut antara lain mengenai penghapusan syarat tidak memiliki kepentingan dengan petahana, kewajiban anggota dewan (DPR, DPD dan DPRD), TNI, Polri dan pejabat/karyawan BUMN/BUMD untuk mundur ketika akan mencalonkan diri serta soal mantan narapidana yang turut maju dalam ajang pilkada.
"Lalu terkait calon tunggal dan juga mengenai syarat minimal dukungan berbasis DPT bagi calon dalam Pilkada, serta beberapa lainya ini kita perlu tinjau kembali," ujar dia.
Putusan tersebut, kata Rambe, harus dibicarakan antara DPR dan MK untuk mencari kesesuaian dan sinergi antara kedua lembaga negara tersebut.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria yang menyampaikan
untuk mencapai Pemilihan Kepala Daerah berkualitas dibutuhkan Undang-Undang sebagai bagian instrumen mencapai tujuan tersebut.
"Secara umum kita apresiasi Pilkada serentak 2015 lalu sukses, namun ada beberapa catatan seperti jumlah calon yang jauh menurun dengan hanya dua calon, dengan demikian menurut saya pribadi kualitasnya juga menurun," ujar Riza.
Dia menyebut, putusan MK yang mengharuskan mundurnya pejabat negara menjadi salah satu sebabnya. Riza mengatakan bahwa pihaknya menyayangkan jika hal itu harus terjadi karena menyebabkan banyaknya potensi pejabat negara yang baik, mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada.
"Ini sayang sekali, banyak orang yang harus mengundurkan diri dari jabatannya. Banyak dari mereka yang kalah di pilkada, karena kecurangan kandidat lainnya. Sekarang mereka harus menganggur, cukup saja cuti apakah enam, delapan atau 10 bulan," ucapnya.
Lalu, Riza menambahkan putusan tentang persyaratan minimal pengajuan calon yang baru 0,5-2 persen juga kerap menjadi masalah di akhir masa penghitungan yang banyak menimbulkan sengketa.
"Kemarin hanya 0,5-2 persen ini juga kayaknya salah kami, selisihnya terlalu rendah dan ternyata banyak calon kepala daerah yang curangnya ini masif sekali agar bisa menang juga di MK, saya rasa jika dinaikan 5-10 persen rasanya kecurangan tidak mudah," kata Riza.
Sementara itu, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan di dalam konstitusi Indonesia, disebutkan putusan mahkamah adalah final biding dan mengikat sehingga harus dilaksanakan.
"Akan tetapi jika seiring perkembangan zaman ada judicial review lagi dan MK bisa melihat harus ada penafsiran lain, maka kami juga bisa bergeser, namun perlu diingat pergeseran penafsiran MK tersebut harus dikaji secara mendalam," ujar Arief.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016