Secara umum mungkin ada (dana) kembali ke AS. Lebih menarik ya AS dananya dinaikkan. Tapi saya lihat pasar itu sudah `price in` jauh jauh hari."
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo menilai penaikkan bunga acuan The Federal Reserve yang direncanakan pada Juni 2016 mendatang, tidak akan signifikan mempengaruhi likuiditas perbankan, apalagi mengganjal upaya perbankan dalam menurunkan bunga kredit ke satu digit.

"Kita lihat (pasar) sudah price-in jauh-jauh hari. Sudah ada penyesuaian. Kalau untuk bunga kredit, sudah ada upaya (penurunan biaya dana), jadi naturalnya akan tetap turun," kata Heru di Jakarta, Selasa.

Menurut Haru, upaya penurunan biaya dana, biaya operasional hingga risiko kredit bermasalah perbankan akan tetap berjalan, dan melanjutkan dorongan untuk penurunan bunga kredit perbankan hingga akhir tahun.

Namun, memang di pertengahan Juni 2016, diprediksikan terdapat pengembalian arus modal ke Amerika Serikat, yang bisa memicu pengetatan likudiitas perbankan.

Secara alamiah, jika likuiditas perbankan mengetat, maka penyaluran kredit ke masyarakat juga dapat tertahan. Hal itu karena perbankan harus mejaga sumber pendanaannya yang berasal dari Dana Pihak Ketiga ataupun surat utang.

"Secara umum mungkin ada (dana) kembali ke AS. Lebih menarik ya AS dananya dinaikkan. Tapi saya lihat pasar itu sudah price in jauh jauh hari," ujar dia.

Haru mengatakan pihaknya melihat mayoritas pelaku pasar sudah mengantisipasi kenaikan bunga The Fed pada Juni 2016 ini. Hal itu karena sesuai dengan pernyataan The Fed pada Desember 2015 lalu, dimana bank sentral AS itu akan menaikkan bunga acuan selanjutnya pada pertengahan 2016, antara Juni dan Juli 2016.

Lebih lanjut, menurut Haru, terdapat sinyal positif jika The Fed merealisasikan kenaikan bunga acuannya pada Juni 2016 ini. Hal itu berarti ekonomi AS membaik dan bisa memicu impor oleh negara adi daya tersebut ke negara-negara eksportir.

Dengan begitu, pemulihan ekonomi global dapat berjalan lebih cepat, dan pada akhrinya memacu penyaluran kredit perbankan.

"Kalo misalnya AS ekonominya tumbuh, The Fed kan mengendalikan agar inflasinya tidak tinggi. Namun, di sisi lain, ekonominya berarti tumbuh, yangb berarti ada peluang mereka impor lagi, nah buat negara-negara eksportir akan bagus," kata dia.

Penyaluran kredit perbankan hingga triwulan I 2016 masih dihantui dengan stagnasi, mengingat hanya tumbuh 8,7 persen, atau di bawah ekspetasi Bank Indonesia dan OJK yang memprediksi kredit dapat tumbuh di atas 10 persen. Jumlah itu jauh di bawah pertumbuhan kredit sepanjang 2015 yang tumbuh 10,1 persen.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016