Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan dirinya tetap mendukung keberadaan calon independen dalam Pilkada namun syarat dukungannya harus diperketat seperti partai politik.

"Jadi saya mendukung calon independen, tapi jangan calon yang mau melakukan segalanya seenaknya sendiri, tidak mau diperiksa secara prosedural untuk mengklarifikasi berbagai persyaratan," katanya di Gedung Nusantara III, Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan parpol harus mengalami verifikasi dan pemeriksaan yang sangat rinci oleh KPU, bahkan kantor perkantornya di seluruh Indonesia diperiksa, aktanya, pengurusnya dan lain-lain.

Karena itu dia menilai calon independen pun harus diperiksa dengan benar seperti publik harus bisa mengatahui siapa timnya.

"Parpol saja diperiksa kok sangat detail oleh negara ketika mau mencalonkan atau mengirim pejabat publik dalam negara. Calon independen juga harus seperti itu seperti publik harus bisa mengetahui siapa timnya," ujarnya.

Menurut Fahri, dirinya tidak pernah menolak calon independen karena merupakan bagian dari demokrasi meski dirinya yakin partai politik adalah tulang punggung demokrasi.

Dia pun menyayangkan pernyataan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang menganggap proses verifikasi itu sebagai satu hal yang akan menyulitkannya.

"Saya kira ini prosedur dan keseriusan berdemokrasi, jadi jangan anggap itu suatu kesulitan, semua ada konsekuensinya. Orang bikin parpol juga babak belur kok, tidak gampang," katanya.

Fahri menilai semuanya, baik parpol maupun calon independen sama-sama masuk menjadi bagian dari kelembagaan demokrasi.

Selain itu terkait formulir yang spesifik Fahri menjelaskan bahwa maksudnya supaya ada verifikasi administratif KPU terbantu secara digital, dan tidak perlu dilakukan verifikasi manual.

"Misalnya terkait pengecekan betul tidaknya seseorang yang memberikan dukungan itu ada. Jangan-jangan ada pemalsuan dokumen dan sebagainya karena banyak kejadian sebelumnya," ujarnya.

Dia mencontohkan calon independen di banyak daerah mendapat KTP dukungan yang besar misalnya 100 ribu, tapi faktanya yang memilihnya hanya 9.000, jauh dari dukungan KTP itu sendiri.

Menurut dia, secara logika hasil pilkada seharusnya pemilihnya lebih besar dari dukungan KTP itu sendiri sehingga kalau ternyata hasilnya jauh maka itu bisa saja dukungan tersebut diberikan karena adanya motif lain seperti uang dan lainnya.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016