Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung menegaskan sejumlah buku pelajaran sejarah kurikulum 2004 tetap dilarang karena tidak mencantumkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa Pemberontakan G 30 S 1965 dan Pemberontakan Madiun tahun 1948. "Dalam buku-buku itu dihilangkan kata PKI-nya. Itu tidak bisa diterima kita karena Pengadilan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa-Red) telah membuktikan ada kejahatan oleh PKI," kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di Jakarta, Jumat. Sejarah hukum Indonesia, menurut Jaksa Agung, telah membuktikan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah penggerak dan pencetus dalam pemberontakan 30 September 1965 dan peristiwa Madiun tahun 1948. Per Maret 2007, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan larangan peredaran terhadap sejumlah buku Sejarah kurikulum 2004 untuk SMP/SMA/Madrasah Tsanawiyah/Madrasah Aliyah. Buku-buku Sejarah Kurikulum 2004 itu hanya mencantumkan Gerakan 30 September 1965 dan Peristiwa Madiun tahun 1948 tanpa menyebutkan keterlibatan PKI dalam dua peristiwa tersebut sehingga Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo meminta Kejaksaan Agung meneliti buku-buku itu sebagaimana kewenangan pengawasan dan pelarangan terhadap barang cetakan yang tertuang dalam UU No.16/2004 tentang Kejaksaan. "Ini tidak ada hubungan dengan perbedaan pendapat, ahli sejarah boleh pro dan kontra tapi masalah buku pelajaran sekolah itu adalah hak Mendiknas," kata Jaksa Agung. Kejaksaan menghormati pendapat pro maupun kontra yang bermunculan terkait pelarangan beredarnya buku tersebut namun pemerintah harus menentukan sikap terhadap buku Sejarah kurikulum 2004. "Kita mengadakan kajian dengan tim yang terdiri atas Pusat Perbukuan Depdiknas, Kejaksaan, Kepolisian, BIN serta BAIS. Kesimpulan tim, buku itu tidak memuat sejarah sebagaimana mestinya, menghilangkan fakta-fakta sejarah yang harus diketahui oleh anak didik. Itu harus dilarang," kata Jaksa Agung. Lebih lanjut Abdul Rahman Saleh mengatakan, hukum Indonesia mengatur pelarangan terhadap penyebarluasan ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme sebagaimana dalam UU No 27/1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. "Undang-Undang tersebut menambah enam ketentuan baru antara pasal 107-108 KUHPidana tentang tujuan mencegah diajarkan dan disebarluaskannya tiga ajaran tersebut yang dikhawatirkan menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat," kata dia. Dia menambahkan, ancaman pidana bagi pengembangan dan penyebaran Komunisme, Marxisme-Leninisme secara lisan dan tulisan adalah 15 tahun penjara. "Bahkan kalau bertujuan meniadakan atau mengganti dasar negara Pancasila ancamannya 20 tahun penjara," kata Jaksa Agung mengutip pasal 170 b KUHPidana.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007