Jakarta (ANTARA News) - Produser film Mira Lesmana tidak tinggal diam melihat masalah yang dihadapi Sinematek Indonesia, lembaga pusat data film nasional, lantaran baginya film adalah salah satu catatan sejarah yang harus disimpan dan diperlihara. "Sinematek itu, seperti museum tempat menyimpan benda-benda berharga milik negara. Tetapi kenapa ya, Sinematek tidak diperhatikan oleh pemerintah," katanya, di Jakarta, Minggu. Sinematek didirikan 1975 sebagai tempat informasi data, pengarsipan, dan dokumentasi perfilman Indonesia. Namun, biaya yang digunakan sebagai operasionalnya tidak lagi mencukupi, apalagi ditambah dengan pemberhentian subsidi dari Pemda DKI Jakarta, tiga tahun sesudah Sinematek didirikan. Dalam kondisi kekurangan dana, Sinematek tetap berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Dana operasional yang diperoleh Sinematek saat ini tidak mencukupi untuk perawatan ribuan koleksi film yang ada. Akibatnya banyak film yang terpaksa ditunda perawatannya dan menyebabkan kualitas film tersebut menurun. Fungsi film bukan hanya untuk menghibur, melainkan juga sebuah catatan sejarah dari masa film itu dibuat. "Kita jadi tahu bagaimana penggunaan bahasa Indonesia, misalnya pada tahun 1950-an. Kita juga tahu berbagai macam hal karena film menggabungkan berbagai disiplin ilmu di dalamnya," kata Mira. Kondisi sinematek yang membutuhkan uluran tangan ini membuat Mira tidak henti-hentinya menanamkan pengertian kepada masyarakat tentang pentingnya sebuah film. Jika koleksi film-film lawas yang disimpan Sinematek hancur maka Indonesia telah kehilangan salah satu jejak sejarahnya. Ia pun meminta pemerintah serius memperhatikan Sinematek Indonesia sekaligus menggugah kesadaran msyarakat untuk ikut berpartisipasi menyelamatkan salah satu dokumen negara ini. "Di Jepang, Korea, bahkan India telah mengelola lembaga pengarsipan dan dokumentasi film mereka dengan baik. Lalu kenapa kita harus kalah dari mereka," kata istri aktor senior Mathias Mucus ini. Melalui film Indonesia, masyarakat memiliki akses untuk mengenal budayanya lebih dalam dan tidak hanya terbuai dengan gemerlap film Hollywood di Amerika Serikat (AS) maupun Bollywood di India saja. "Bagaimana mereka bisa cinta film Indonesia, kalau mereka sendiri tidak pernah tahu perjalanan film kita sendiri. Ini bukan hanya cuma pekerjaan rumah segelintir orang saja, melainkan semua pihak," katanya. Ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat akan mengantarkan Sinematek pada keterpurukan. Saat ini dana yang masuk ke Sinematek berasal dari Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail, dibantu dengan dana-dana tambahan dari berbagai pihak. Namun, menurut Direktur Sinematek Indonesia, Adi Pranajaya, dana yang ada masih jauh dari cukup. Ia pun tidak ingin lagi mengandalkan satu sumber pendanaan saja dan berusaha menggalangnya dari berbagai pihak. "Kami akan berusaha mendapatkan dana untuk Sinematek," katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007