Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah sedang menyempurnakan aturan penanganan praktek dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat membanjirnya impor barang serupa yang lebih murah. "Masalah peraturan pelaksana Undang-Undang-nya banyak yang bolong. Tidak ada definisi kerugian dan tata tertib proses penyelidikan antidumping," kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Perdagangan dan Industri, Edi Putra Irawady, usai rapat koordinasi teknis pengamanan perdagangan, di Jakarta, Senin. Oleh karena itu, selama ini banyak kasus yang akhirnya terhenti di Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan karena tidak bisa dibuktikan seperti paracetamol dan baja. Untuk sementara, lanjut Edi, pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) pengamanan perdagangan untuk menampung keluhan pengusaha agar dapat diteruskan pada instansi yang tepat. "Satgas sudah ada, Saya sebagai koordinator, di dalamnya, Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Badan Standarisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kamar Dagang dan Industru (KADIN), serta pengusaha,"jelasnya. Dengan satgas tersebut, segala keluhan pengusaha akan diselesaikan sesuai diagnosa masalahnya. "Kalau misalnya diagnosanya dumping diarahkan ke Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), underinvoice ke Bea Cukai, dan lain-lain,"tambahnya. Meski demikian, Edi menyatakan tidak perlu dibuat UU Antidumping namun memang perlu penyempurnaan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 (tentang BMAD dan bea masuk imbalan). "Tidak perlu UU Antidumping, karena dimana pun UU tentang dumping terdapat di UU Kepabeanan. PP No 34 tahun 1996 yang harus diganti,`ujarnya. Ia menegaskan, fungsi KADI harus independen, karena harus membuktikan kebenaran penyidikannya. Selain itu, KADI bersifat seperti pengadilan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007