Jakarta (ANTARA News) - Presiden RI periode 1999-2001, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menegaskan kecurigaannya bahwa ada upaya sejumlah pihak untuk menjatuhkan citra Presiden RI periode 2001-2004, Megawati Soekarnoputri, melalui jalur pemberantasan kasus korupsi. Oleh karena, kata Gus Dur kepada wartawan di Jakarta, Kamis, praktik tebang pilih dalam pemberantasan korupsi lebih mengarah kepada pengadilan pada pejabat yang diangkat oleh Megawati, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), saat jadi presiden. "Jelas arahnya ke sana. Figur Mega mau dijatuhkan," kata Gus Dur, yang pendiri dan Ketua Dewan Syura Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), itu usai menerima delegasi parlemen Eropa yang tergabung dalam "Alliance for Liberals and Democrats for Europe (ALDE)" di kantor DPP PKB di Kalibata, Jakarta Selatan. Beberapa pejabat di era Megawati menjabat presiden yang menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain mantan Menteri Agama Said Agil Al Munawar, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (DKP), Rokhmin Dahuri, dan mantan Dirut Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo. Gus Dur menampik adanya unsur balas dendam yang mungkin dilakukan orang-orang di dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut lebih menilai bahwa hal itu dilakukan terkait kemungkinan majunya lagi Megawati pada pemilihan presiden dalam Pemilu 2009. Gus Dur juga semakin yakin adanya praktik tebang pilih dalam penegakan hukum yang bernuansa politis, karena di pemerintahan saat ini pun banyak kasus korupsi dan penyimpangan tetapi didiamkan. Contohnya, kata Gus Dur, kasus pencairan dan penyimpanan dana milik Tommy Soeharto di dalam rekening Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). "Hamid yang jelas menerima dan menyimpan duit Tommy tidak diapa-apakan," katanya. Hamid yang dimaksudnya adalah Menkum dan HAM, Hamid Awaludin. Pada suatu kesempatan, Gus Dur pun pernah menyatakan bahwa dirinya pernah kecewa dengan Megawati Soekarnoputri, namun dirinya tidak rela puteri sulung Bung Karno (Ir. Soekarno, Presiden RI periode 1945-1966), diperlakukan tidak adil. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007