Dulu kala bocah sempat tertanam di benak tentang deretan unta nan anggun berjalan perlahan di tengah padang pasir tak bertepi.

Tentang jejak kaki yang hilang tersapu sepoi angin gurun. Dan sekumpulan musafir yang berbagi cerita di depan api unggun.

Namun ketika deretan bus-bus berkapasitas 50 orang dan minibus dengan 11 orang dewasa berbondong menyusuri jalanan mulus yang bagai tak berujung, mencoba menapak tilas perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW ratusan tahun lalu, bukan padang pasir yang menyapa.

Jalanan sepanjang 490 kilometer yang mengular menghubungkan dua kota suci, Mekkah dan Madinah, itu dibangun laksana membelah bukit-bukit batu.

Sejauh mata memandang batu dan batu tampak saling tumpuk, melintang atau angkuh menyendiri di kejauhan dalam terik 46 derajat Celcius.

Hingga satu jam perjalanan dari Mekkah, masih tampak tenda-tenda mungil suku badui yang hidup nomaden di kejauhan bersama unta-unta mereka.

Namun ketika bayang tenda terakhir mereka hilang dari pelupuk mata yang tersisa hanya barisan bukit batu. Hampir tak ada peradaban yang tampak, dengan jumlah "rest area" atau tempat istirahat yang tak habis dihitung dengan jari tangan.

Dua tempat istirahat yang dapat ditemui di salah satu sudut jalan pun tampak berdebu dan usang ditelan kerasnya alam sekalipun beberapa waralaba Amerika Serikat hadir di situ.

Tampaknya barisan karpet penuh debu adalah pemandangan biasa yang menyambut wajah-wajah lelah para pelintas sehingga sang tuan rumah tak merasa perlu berbenah.

"Saya tidur sepanjang jalan," kata Lilis (43), anggota jamaah haji khusus asal Surabaya tentang perjalanannya membelah perbukitan batu menuju kota Sang Nabi.

Konon, idealnya shalawat digumamkan sepanjang perjalanan menuju Madinah karena kepada Sang Nabi kita akan bertamu. Tapi satu jam lepas Kota Mekkah, satu persatu tumbang, kalah oleh rasa kantuk luar biasa yang sangat manusiawi, menyisakan sopir dan beberapa orang yang memang tak dapat tidur karena sakit kepala atau bentuk solidaritas pada sang pengemudi.

Dengan kendaraan-kendaraan besinya kini setiap orang yang ingin menapak tilas jejak Sang Rasul hanya butuh empat hingga lima jam untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Duduk manis melamun atau tertidur setelah memastikan pendingin ruangan berfungsi, perbekalan menggunung di jok belakang dan bahkan sederet lagu favorit di "playlist" untuk mengusir bosan.

Bagai langit dan bumi dengan apa yang dulu Sang Nabi harus lalui. Bahkan bagi mereka-mereka yang sukses melantunkan shalawat sepanjang jalan.

"Dahulu Nabi Muhammad SAW, hijrah dalam kondisi menghindar dari kaum Quraisy. Jadi tidak tenang sepanjang perjalanan," kata Khoirun (37), salah seorang petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) mengutip kisah hijrah Nabi Muhammad SAW dalam "Sirah Nabawi".

Dan memang itulah yang terjadi saat Sang Nabi bersama orang-orang terdekatnya memutuskan pindah ke Madinah setelah menyebarkan Islam selama bertahun-tahun di Mekkah. Dengan meninggalkan Ali bin Abu Thalib di rumahnya, Sang Pembawa Pesan tersebut menembus barisan bukit batu berkendara unta. Terpapar terik dan badai gurun yang tak dapat diprediksi untuk menuju sebuah kota yang jauh lebih ramah. Sebuah pilihan yang membuahkan cerita manis.

Setidaknya bagi sosok-sosok yang tertidur saat napak tilas hijrah Sang Nabi. Pulas tanpa bias kekhawatiran. Dan baru terhenyak saat nama Bir Ali disebut.

Pakaian dirapikan. Duduk ditegakkan dan shalawat dinaikkan volumenya. Gema salam pada Sang Nabi dalam minibus sempit itu pun menghadirkan nuansa kekhusyukan tersendiri. Terutama bagi jamaah-jamaah pertama. Ada hangat yang merayap di dada seiring makin cepatnya detak. Beberapa menit lagi. Berziarah pada Sang Rosul.

Meninggalkan bayang Masjid Dzul Hulaifah yang dikenal sebagai Bir Ali karena Khalifah Ali pernah menggali banyak sumur di tempat itu di kejauhan dengan latar matahari senja yang memerah.

Taman Surga
Beberapa menit ternyata menjadi beberapa jam. Karena ternyata tak cukup hanya dengan melintasi gerbang Masjid Nabawi untuk berkunjung ke rumah Sang Nabi.

Setelah terpukau dengan indahnya Madinah, yang tampak jauh lebih rapi dan jauh lebih mencerminkan kota tempat tinggal dibandingkan Mekkah, 10 pasang kaki bergegas menuju Masjid Nabawi dari sebuah hotel yang terletak di wilayah Markaziyah.

Seluruh jamaah haji Indonesia di Madinah tinggal di wilayah Markaziyah atau sekitar 650 meter di sekitar Masjid Nabawi.

Bagi para penziarah pemula, puluhan gerbang Masjid Nabawi sempat menyulitkan namun pesan bahwa rumah Sang Nabi tepat terletak di bawah kubah berwarna hijau ternyata sangat membantu.

"Diberi tahu petugas harus mencari kubah berwarna hijau. Lewat (melalui) pintu Babus Salam," kata Kasirun (63), jamaah asal embarkasi Solo dalam logat Jawa yang kental.

Berjalan bergegas agar tidak tertinggal dari kelompoknya kakek enam cucu itu tersenyum saat ditanya perasaannya akan bertamu ke rumah Sang Nabi.

"Sampai mimpi-mimpi," katanya.

"Bertemu" Sang Nabi atau Kanjeng Nabi, begitu Kasirun menyebut sosok Nabi Muhammad SAW, adalah salah satu mimpi lamanya. Ia mengaku sudah gelisah sejak tahun pertama mendaftar enam tahun lalu.

"Nyuwun diparingi (minta diberi) waktu," katanya merujuk pada ketakutannya untuk "berpulang" sebelum sempat bertamu ke rumah Sang Nabi.

Berbeda dengan Kasirun, Syarief yang ditemui di gerbang 17 tengah menanti sang istri mengaku buyar semua rencana doa yang ingin dipanjatkan kala kaki menjejak lembut karpet Raudhah.

Raudhah adalah sebuah ruangan yang terletak di antara mimbar Masjid Nabawi dengan makam (dahulu kamar tidur) Rasulullah Muhammad SAW.

"Saya bisa di depan, mepet kiri dekat makam Nabi. Langsung lupa semua cuma bisa nangis bisa sedekat itu sama Nabi," tuturnya dengan mata berkaca.

Sekalipun sempat shalat, tapi Syarief mengaku tak sempat memanjatkan banyak doa yang telah direncanakannya. Selain karena lupa, antrean orang dan seruan askar yang memintanya bergegas juga tak membantunya mengingat doa-doa yang telah direncanakan.

"Besok ke sana lagi," katanya sambil tersenyum. "Habis Subuh," tekadnya.

Musriyah (78) punya cerita yang lain. Ia mengaku tak terlalu berharap bisa bertamu ke rumah Sang Nabi.

"Ingin tapi katanya antrenya lama," katanya seraya mengutip perkataan petugas yang menganjurkannya untuk tidak memaksakan diri pergi ke Raudhah atau Taman Surga.

Selain untuk berdoa, bagi umat Islam era kini, Raudhah adalah jarak terdekat yang dapat dicapai untuk bersanding secara hampir fisik dengan Sang Nabi karena tepat dibalik bangunan persegi empat berwarna hijau dengan kaligrafi emas yang terletak di sebelah kiri saat mereka bersujud di Raudhah itulah makam Nabi Muhammad SAW.

Dahulu rumah Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah terletak di luar kompleks Masjid Nabawi namun karena perluasan area masjid kini rumah tersebut berada di dalam kawasan masjid.

Musriyah pernah menjalani perawatan karena gangguan pernafasan pascapuncak haji. Ia juga mengenakan gelang merah karena tercatat memiliki riwayat tekanan darah tinggi. Para petugas menurut dia, berulang kali mengingatkan dia untuk tidak kelelahan.

"Ingin sekali," katanya seraya berharap ada keajaiban yang membuatnya mampu ziarah.

Oleh karena alasan kesehatannya, nenek itu bahkan mengaku tak dapat memenuhi ibadah Arbain atau shalat wajib 40 waktu di Masjid Nabawi.

Ia ingin memaksakan diri namun sang anak dan menantu yang mendampinginya melarangnya. Dan dia tidak ingin merepotkan dan menjadi penghalang ibadah orang lain karena saat dia sakit terpaksa anak dan menantunya harus bergantian menjaganya di klinik.

"Sudah umur," ujarnya sambil mengusap air mata yang jatuh di pipi keriput itu.

Sementara itu, di pintu Raudhah, Siti beberapa kali gagal menghentikan batuknya sekalipun seorang jamaah asal Madiun telah membantu memijit tengkuknya.

Jamaah asal Malaysia itu mengaku seharusnya ia tidak memaksakan diri untuk pergi ke Raudhah namun sudah tiga hari ia di Madinah dan ini adalah kali pertama ia merasa tubuhnya sedikit lebih baik.

Ibu tiga anak itu mengaku mengalami demam sejak tiba di Madinah. Tubuhnya tidak mampu beradaptasi dengan baik dengan kelembapan di kota itu yang hanya 6 persen.

Saat ditanya apa yang ingin dilakukannya bila telah melihat makam Sang Penyampai Pesan, Rini mengaku hanya ingin mengucapkan salam pada Sang Nabi.

Bersama puluhan jamaah lain, siang itu, Siti telah mengantre hampir dua jam untuk mendapat giliran menjejak karpet hijau Raudhah.

Air di botol sebuah produk plastik merek ternama miliknya tersisa tak lebih 50 ml. Beberapa kali ia harus minum agar batuknya tak menjadi dan mengganggu jamaah lain dalam antrian yang sangat padat itu.

Ketika akhirnya kelompoknya diizinkan masuk, Siti terlihat berjalan perlahan, bergerak ke sisi kiri bersama sejumlah jamaah yang lain. Ke arah dinding berpintu hijau dengan hiasan kaligrafi emas.

Tepat di balik dinding itu adalah makam Sang Nabi. Ibu itu terlihat bergumam sebelum kemudian ia diminta menjauh oleh askar.

Sore itu sebagaimana hari-hari sebelumnya puluhan jamaah bersujud di Taman Surga.

Ada air mata yang menetes. Ada doa yang melangit. Ada salam yang terucap. "Assalaamualaikum, Ya Nabi".

Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016