Denpasar (ANTARA News) - Setelah berbagai kasus penganiayaan, isu baru seputar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) kembali mencuat dan kali ini tentang sering digelarnya pesta seks antar siswa di kampus perguruan itu di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Namun isu itu dibantah keras oleh seorang alumnus IPDN asal Bali, Andayani, dengan menyatakan bahwa itu bertolak belakang dengan yang terjadi sesungguhnya karena para praja IPDN justru aktif dalam kegiatan keagamaan sesuai kepercayaan masing-masing. "Khusus untuk sisi negatif tentang adanya isu pesta seks saya tidak bisa menerimanya, karena itu sepenuhnya tergantung dari masing-masing orang," kata Andayani di Denpasar, Jumat. Ketika bersama sekitar 250 alumni IPDN yang mengadakan dialog dengan Wakil Gubernur Bali IGN Kesuma Kelakan menyikapi terjadinya kasus-kasus kekerasan di kampus Jatinohor itu, karyawan di lingkungan Pemprop Bali itu menegaskan, isu seks bebas itu sangat kontroversial dengan aktifitas dan kegiatan keagamaan yang ia alami selama mengikuti proses pendidikan. "Masing-masing siswa dalam proses belajar mengajar itu aktif dalam kegiatan keagamaan sesuai agama yang dianut. Saya yang menganut agama Hindu, demikian pula siswa lainnya yang beragama Islam maupun Kristen aktif melakukan ibadan sesuai agama masing-masing," ujar Andayani. Ia menilai, pemberitaan berbagai media massa dalam beberapa pekan belakangan ini selalu menyoroti sisi-sisi negatifnya saja dan hampir tidak ada yang mengungkap yang positif dari proses pendidikan di IPDN tersebut. Kasus tewasnya praja IPDN di Jatinangor, Sumedang, Jabar, Cliff Muntu (20), akibat disiksa seniornya pada 2 April lalu secara tidak langsung ikut menambah beban para alumni IPDN. "Beban psikis kami bertambah Sejak peristiwa itu terjadi, disamping mengemban tugas dan tanggungjawab sehari-hari yang cukup berat," ujar Andayanai alumnus IPDN tahun 1998 itu. Hampir semua alumni IPDN asal Bali sejak angkatan pertama hingga XIV terhentak dan prihatin atas mencuatnya kasus Cliff. Hal senada juga diungkapkan Agus Arjawa alumnus IPDN angkatan ke III tahun 1994, bahwa sistem pendidikan di IPDN menerapkan tiga pola yang meliputi proses belajar mengajar, pelatihan (ilmu terapan) dan pengasuhan. Pada pola pengasuhan itulah muncul kasus-kasus penganiayaan, akibat mereka yang diberikan mewenang dan tanggung jawab untuk mengasuh adik-adik kelasnya tidak memiliki keterampilan yang memadai. Akibatnya terjadi tindak kekerasan, padahal pengasuhan itu bertujuan untuk mendidik calon aparatur yang tangguh, mantap dan royal terhatap senior, ujar Agus Arjawa.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007