Manado (ANTARA News) - Perbankan nasional hadapi iklim tidak sehat, "market failure" di satu sisi likuiditas melimpah menyerbu hampir semua bank nasional, tetapi di sisi lain sektor riil gagal menyerap likuitas melimpah tersebut, kata Chief Economist BNI, DR A. Tony Prasetiantono. Iklim tidak sehat tersebut terlihat pada Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan nasional masih rendah hanya 64 persen, pertanda tingginya dana bank menganggur, ujarnya dalam Business Gathering BNI di Manado, Kamis. Rendahnya penyerapan dana oleh sektor riil tersebut, menurut dia, disebabkan beberapa indikator, yakni daya beli masyarakat masih lemah serta hambatan sektor riil berupa pasar tidak sempurna, infrastruktur lemah, birokrasi, kepastian hokum, euphoria, otonomi daerah dan ketenagakerjaan. Masalah menjadi kian kompleks ketika likuiditas berlebihan tersebut disimpan dalam bentuk SBI yang hingga kini mencapai Rp238 triliun, jika tidak dikendalikan jumlahnya akan bergerak kearah Rp300 triliun, dan akibatnya Bank Indonesia (BI) akan amat terbebani untuk membayar bunganya. Kalau sampai BI tidak dapat menanggung beban bunga tersebut, maka negara yang akan menanggungnya dan ini akan membahayakan ekonomi nasional, kata Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (FE UGM) Yogyakarta tersebut. Untuk itu, ia menilai, salah satu solusinya adalah perbankan harus "deadlock" untuk segera memecah kebuntuan tersebut melalui beberapa kombinasi kebijakan baik dari pemerintah maupun oleh perbankan itu sendiri. Selain itu, pemerintah harus menurunkan suku bunga BI (SBI) sampai batas terendah yang dapat ditolorensi berkisar 8,50 hingga 8,75 persen dari saat ini masih sebesar 9 persen, maka bank akan mengalihkan dananya ke sektor riil. Solusi lainnya, pemerintah harus memiliki kehendak kuat untuk mendorong proyek-proyek infrastruktur terutama menyerap banyak tenaga kerja sebagai upaya memangkas pengangguran. Kehendak kuat dari bank-bank pemimpin pasar (market leaders) terutama bank BUMN agar lebih terfokus lakukan lending berupa penyaluran kredit yang lebih banyak ke sektor riil, ujarnya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007