Padang (ANTARA News) - Komisi IV DPR mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memperhatikan nilai-nilai kearifan setempat dalam pembuatan aturan terkait nelayan tradisional agar tidak mempersulit mereka saat melaut.

"Nelayan tradisional pada masing-masing daerah di Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang harus diakomodasi dalam peraturan yang dibuat," kata Ketua Komisi IV DPR, Edhy Prabowo, di Padang, Senin.

Ia mengatakan itu terkait nelayan bagan di atas 30 Gross Ton yang kesulitan melaut karena terganjal aturan dalam Permen KP Nomor 71/Permen-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan.

Menurut dia, dalam keseharian, nelayan bagan dan nelayan pukat hela di Sumatera Barat lebih condong pada tradisi dan budaya setempat dan sama sekali tidak merusak lingkungan.

"Ini harus dikecualikan dalam aturan yang ada. Kami dorong tim teknis Kementerian Kelautan dan Perikanan segera turun dan memberikan solusi teknis yang konkret," kata dia.

Persoalan mata jaring menurut dia juga harus ditetapkan dengan lebih bijak. Nelayan meminta penggunaan mata jaring 4 milimeter, sementara Permen KKP mewajibkan penggunaan mata jaring berukuran 2,5 inci untuk mengantisipasi tertangkapnya anak ikan.

"Padahal jika menggunakan jaring empat milimeter dan ada anak ikan yang terjaring, malah bisa dibudidayakan oleh nelayan," kata dia.

Hal itu akan membuat nelayan memiliki usaha sampingan berupa jaring atau keramba apung hingga memiliki penghasilan tambahan.

Selain itu penggunaan lampu penerangan yang dipatok maksimal 16.000 Watt dalam Permen tersebut juga menyulitkan nelayan karena selama ini menggunakan lampu hingga 30.000 Watt.

Ditambah lagi soal kewajiban Pajak atau Pungutan Hasil Perikanan yang sangat besar, yaitu Rp412.000 untuk kelipatan satu GT. Jika kapal nelayan 30 GT, pajaknya mencapai Rp12 juta, jika 50 GT, bisa mencapai Rp20 juta lebih.

"Nelayan akan makin sulit dengan aturan ini, karena itu sejumlah poin harus ditinjau kembali," katanya.

Sementara itu Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, mengatakan, sejak awal peraturan menteri itu diberlakukan terus terjadi protes karena menyulitkan nelayan yang bekerja di bagan.

"Pada 2016 ada kebijakan penundaan pelaksanaan Permen tersebut, demikian juga pada 2017. Namun, yang kita minta bukan penundaan, tetapi pertimbangan kearifan lokal nelayan diakomodasi dalam Permen KP 71 tahun 2016 itu," kata dia.

Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017