Kupang (ANTARA News) - Direktur Pengamanan Perdagangan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan, Martua Sihombing, mengakui, Indonesia cukup kesulitan untuk mengajukan tuduhan praktek dumping yang dilakukan erusahaan/industri asing, meskipun 23 negara sudah menuduh Indonesia terlibat 161 kasus dumping, subsidi dan tindakan safeguard (perlindungan usaha). "Penyebabnya antara lain tidak ada pengaduan dari mayoritas industri dalam negeri terhadap temuan praktek dumping (harus lebih dari 50 perusahaan) dan tidak ada bukti bahwa impor produk asing itu melonjak karena banyak barang impor di Indonesia yang terdata di BPS," kata Sihombing di Kupang, Rabu. Ia mengatakan, BPS sudah mencatat barang impor yang masuk ke Indonesia namun tidak berhasil mencatat semua jenis barang sehingga terkesan bahwa barang impor ilegal cukup marak di Indonesia. Selain itu, kalangan pengusaha atau pengelola industri tidak memiliki keberanian yang cukup untuk mengajukan tuduhan dumping, subsidi atau tindakan safeguard terhadap perusahaan asing meskipun menemukan indikasi. "Sepertinya pengusaha kita gerah kalau mau melakukan tuduhan. Mereka belum siap buka-bukaan dalam urusan perdagangan. Akhirnya, sejauh ini baru ada tujuh kasus dumping dan subsisi serta satu kasus tindakan safeguard yang ditujukan kepada industri Cina, Thailand dan beberapa negara lainnya," ujar Sihombing. Ia menyarankan pengusaha Indonesia agar lebih berani melakukan pengawasan terhadap praktek dumping, subsidi dan tindakan safeguard yang dilakukan negara lain terhadap produk impornya yang beredar di Indonesia. Pengusaha Indonesia pun harus lebih berhati-hati dalam memperdagangkan produk impor agar tidak terindikasi mendukung perdagangan produk ilegal dan terjerumus dalam praktek dumping, subdisi dan tindakan safeguard yang dilakukan pengusaha asing. "Ada fakta menarik sekaligus menggelikan, ternyata pengusaha Indonesia malas untuk mengetahui perkembangan harga di luar negeri meskipun berkecimpung dalam aktivitas ekpor-impor, sehingga tidak memahami praktek dumping, subsidi dan tindakan safeguard," ujarnya. Sejumlah pengusaha Indonesia, tambah Sihombing, dalam praktek menjalankan aktivitas ekspor barang seringkali hanya terlibat sampai pelabuhan ekspor dan tidak mempedulikan perkembangan harga jual barang dagangannya di negara tujuan. Padahal, para pembeli produk ekspor asal Indonesia umumnya merupakan perantara (bayers) yang seringkali terlibat mafia harga jual sehingga merugikan industri pengekspor barang di Indonesia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007