Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memastikan segera membentuk dua unit pemantau keselamatan bangunan dan konstruksi yakni Komisi Keselamatan Bangunan Gedung (KKBG) dan Komisi Keselamatan Konstruksi (KKK).

"Ini adalah tindak lanjut dan jawaban atas beberapa kejadian kegagalan bangunan gedung dan kecelakaan konstruksi akhir-akhir ini," kata Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin kepada pers di Jakarta, Jumat.

Syarif menjelaskan, KKBG masih dalam proses penyusunan berdasarkan Undang-Undanga Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. "Nantinya dalam bentuk Permen (peraturan menteri). Kami targetkan bukan depan selesai," kata Syarif.

Tugas utama KKBG adalah melakukan investigasi terhadap kegagalan bangunan gedung dan inventarisasi, pemantauan dan pertimbangan teknis.

Kedua, kata Syarif, pemerintah segera membentuk KKK dan ditargetkan diluncurkan pada Senin (29/1) dengan tiga tugas pokok yakni memantau dan evaluasi pelaksanaan kontruksi potensi bahaya tinggi dan investigasi kecelakaan konstruksi dan memberi rekomendasi kepada menteri.

Terkait dengan hasil audit sementara kejadian runtuhnya selasar gedung Bursa Efek Indoneisa (BEI) beberapa waktu lalu, Syarif menjelaskan, dugaan penyebabnya adalah kegagalan kinerja joint pada PC-Strand sebagai penggantung karena tidak tercapainya gaya tarik minimal.

"Akibatnya, penguncian wedge/baji pada sistem angkur menjadi tidak optimal," kata Syarif.

Oleh karena itu, tegasnya, sebagai tindak lanjutbakan dilakukan tiga hal.

Pertama, dilakukan pengujian untuk pembuktian secara ilmiah prilaku sistem pengunci PC Strand.

Kedua, akan dilakukan penyempurnaan SNI (Standar Nasional Indonesia) yang mengatur penggunaan PC Strand dengan penguncinya pada sistem konstruksi.

Ketiga, pemilik gedung direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan keandalan struktur selasar pada tower I, BEI khususnya terkait kelaikan fungsi selasar untuk menjamin keselamatan pengguna bangunan gedung.


Kecelakaan konstruksi

Menyinggung hasil audit sementara terkait kecelakaan konstruksi girder pada sejumlah proyek jembatan tol dan LRT Jabodetabek, Syarif mengatakan secara umum ada beberapa penyebab.

Pertama, secara umum kondisi tidak stabil. Kedua, gantungan crane mengalami pelonggaran sehingga gelagar berotasi.

Ketiga, lanjut Syarif, vertikalitas gantungan sulit dikontrol. Keempat, bracing baja tulangan tidak mampu menahan gaya guling.

Kelima, jack hidraulic yang tidak bekerja dengan baik dan keenam, proses stressing dan sambungan beton basah (wet joint).

Ketika ditanya soal sanksi, Syarif menyebutkan, pihak yang bertanggung jawab untuk kegagalan bangunan dalam UU No.2/2017 tentang Jasa Konstruksi, bisa kepada penyedia dan pengguna jasa.

"Ini masih dalam proses dan pemberi sanksi adalah pemerintah daerah. Kapan harus selesai, ini tidak ada standar bakunya," kata Syarif.

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018