Denpasar (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Indonesia masih tetap menganut sistem ekonomi berkeadilan sosial, meski dunia telah memasuki era globalisasi. "Sesuai konsensus para 'founding father'(para pendiri, red) bangsa, ekonomi yang kita anut adalah ekonomi berkeadilan sosial, bukan ekonomi yang kapitalistik maupun ekonomi komunistik," kata Presiden Yudhoyono, dalam sambutannya pada peringatan Hari Koperasi Nasional ke 60 tahun 2007, di Nusa Dua, Bali, Kamis siang. Hadir pada acara yang dihadiri sekitar 2.500 anggota koperasi itu antara lain Menneg Koperasi dan UKM Surya Dharma Ali, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menbudpar Jero Wacik, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Ketua Umum Dekopin Adi Sasono, dan mantan Menneg BUMN Sugiharto. Presiden menjelaskan saat ini banyak pihak mempertanyakan sistem apa yang digunakan Indonesia dalam menjalankan ekonomi. "Perkembangan dewasa ini dikenal sistem neo-liberalisme ekonomi, atau ekonomi yang liberalistik. Tapi ini juga bukan pilihan, karena sistem ini intinya berorientasi pada perdagangan bebas, investasi bebas ke luar dan masuk, sehingga sering dianggap distorsi bagi ekonomi suatu negara," ujarnya. Kepala Negara juga menyoroti sistem ekonomi kapitalistik yang menyerahkan ekonomi pada mekanisme pasar untuk tujuan membangun efisiensi dan persaingan. "Namun, sistem ini kenyataannya tidak bisa memulihkan ekonomi dan gagal mengurangi kesenjangan antar masyarakat. Sedangkan sistem ekonomi kapitalistik ditandai dengan ketidakpercayaan kepada mekanisme pasar, sehingga juga gagal mencapai tujuan," ujarnya. Karena itu, diutarakan Yudhoyono, era globalisasi harus dimaknai dengan kerja sama kemitraan secara adil yang memberi manfaat bagi ekonomi dan bangsa, atau menangkal hal-hal yang sifatnya negatif terhadap ekonomi. Yudhoyono mengakui selama 10 tahun lalu ekonomi Indonesia terpuruk luar biasa akibat krisis, ditandai merosotnya ekonomi, pengangguran naik tajam, peningkatan angka kemiskinan, utang meonjak tiba-tiba. "Namun dengan sistem ekonomi yang dianut, ekonomi mulai pulih dan makin terbebas dari krisis, pengentasan kemiskinan dan penurunan pengangguran menjadi prioritas, utang menurun," ujarnya. Saat ini, tambah Presiden, pertumbuhan ekonomi memasuki babak baru dan untuk pertama kalinya pasca krisis tingkat pertumbuhan mencapai enam persen. Dijelaskannya pemerintah harus berorientasi untuk keadilan dan pemerataan, dengan masih menerapkan pola subsidi di sektor-sektor tertentu, antara lain penyediaan bahan bakar minyak, listrik, pupuk. "Untuk meringankan beban masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, ditetapkan subsidi listrik sekitar Rp23 triliun setiap tahun," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2007