Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) meminta pemerintah melalui Departemen Perdagangan melobi Uni Eropa (UE) untuk menghapuskan Bea Masuk (BM) kakao olahan dari Indonesia sama dengan BM yang diterapkan terhadap negara-negara di kawasan Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP). "Uni Eropa (UE) hanya menghapuskan BM biji kakao, sedangkan kakao olahan dikenakan BM yang bervariasi," kata Ketua Umum AIKI, Piter Jasman, di Jakarta, Selasa. BM kakao olahan yang dikenakan UE berkisar antara 7,7 sampai 9,6 persen, namun setelah dipotong tarif GSP (Generalized System of Preferences) yang diberikan untuk negara-negara berkembang, maka BM kakao olahan seperti mentega kakao (cocoa butter) menjadi 4,2 persen, bubuk kakao (cocoa powder) 2,8 persen, kue kakao (cocoa cake) dan cocoa liquer masing-masing 6,1 persen. Namun, menurut dia, dibandingkan dengan negara anggota ACP, UE menghapus BM untuk produk kakao olahan dari negara-negara tersebut, sehingga daya saing Indonesia lebih lemah dibandingkan negara-negara anggota ACP, khususnya di Afrika di mana Pantai Gading dan Ghana menjadi negara produsen biji kakao pertama dan kedua terbesar di dunia. UE, diakui Piter, merupakan salah satu tujuan ekspor kakao olahan Indonesia, karena tingkat konsumsi produk coklat di negara-negara kawasan UE sangat tinggi. Swiss misalnya merupakan negara konsumsi coklat terbesar dengan tingkat konsumsi mencapai 10,2 kilogram (kg) per kapita per tahun. Sedangkan, negara di UE yang konsumsi coklatnya juga tinggi adalah Norwegia dengan tingkat konsumsi coklat sebesar 9,1 kg per kapita per tahun, Belgia 9,1 kg per kapita per tahun, Jerman sebesar 9.0 kg per kapita per tahun, dan Inggris 8,8 kg per kapita per tahun. Ia mengatakan, daya saing kakao olahan Indonesia sebenarnya lebih tinggi dibandingkan kakao yang dihasilkan negara-negara Afrika, karena tingkat leleh (melting point) yang sangat tinggi, sehingga cocok untuk produk coklat batangan dan cocok untuk daerah dingin seperti UE. Piter, yang juga pemilik PT BumiTangerang (BT) Mesindotama, mengatakan bahwa tingginya potensi pasar ekspor kakao olahan ke UE menyebabkan pihaknya juga mengekspor 50 persen "cocoa butter" yang diproduksinya ke kawasan tersebut. "Titik leleh (melting point) kakao olahan dari Indonesia bisa mencapai 34 derajat celcius, sehingga tidak mudah leleh, dan cocok untuk coklat batangan, sedangkan dari Afrika titik lelehnya lebih rendah dan rasanya lebih milky (susu) sehingga cocok dicampur minuman susu," ujarnya. Ia mengatakan, potensi industri kakao olahan di Indonesia sangat besar mengingat tingkat konsumsi coklat di dunia tumbuh sekitar 2-4 persen per tahun atau sekitar 60 ribu sampai 120 ribu ton per tahun. Saat ini Indonesia memiliki kapasitas terpasang produksi kakao olahan mencapai sekitar 300 ribu ton per tahun, namun tingkat pemanfaatan kapasitas produksinya masih sekitar 50 persen atau hanya 150.000 ton per tahun akibat banyaknya biji kakao yang diekspor. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007