Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Pusat diminta segera menyelesaikan konflik investasi pertambangan di daerah agar pertumbuhan ekonomi di sektor pertambahan meiningkat, kata Jurubicara Komunitas Lentera, Donny Lumingas. "Pertumbuhan eknomi dari sektor pertambangan dalam beberapa tahun, cukup signifikan, karena terbukti mampu menyumbang kas negara," katanya usai Diksusi tentang Investasi Pertambangan Indonesia di Jakarta, Selasa. Menurut Donny, meski kondisi investasi pertambangan menggembirakan semua pihak, namun akibat adanya perubahan iklim politik dan demokratisasi, pro-kontra mulai mewarnai kegiatan industri pertambangan. "Polemik yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah di sektor pertambangan, diduga merupakan dampak dari implementasi UU Otonomi Daerah. Sejumlah kalangan akademisi memberikan penilaian, bahwa konflik kepentingan di sektor pertambangan dikhawatirkan akan berlarut-larut, apabila tidak ada 'political will' yang tegas dari pemegang kebijakan," ujarnya. Untuk itu, Komunitas Lentera yang merupakan salah satu forum mantan aktivis Kelompok Cipayung, merasa terbeban untuk membenari persoalan di sektor pertambangan nasional. Komunitas Lentera yang juga wadah generasi muda asal Sulawesi Utara (Sulut), juga merasa concern untuk membenahi persoalan investasi yang dialami PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) di Sulut. Donny yang pernah aktif di GMNI itu menjelaskan, saat ini terjadi permasalahan investasi di bidang pertambangan yang dialami oleh PT MSM dan PT TTN yang telah menanamkan investasi sejak tahun 1997 lalu. Hadirnya dua perusahaan asing tersebut, ungkapnya, menggunakan landasan dasar Kontrak Karya dari Pemerintah RI pada tahun 1997 yang ditanda-tangani oleh Presiden, kemudian memperoleh persetujuan AMDAL pada tahun 1998. Dalam perjalanannya, kata donny, pemerintah melakukan revisi AMDAL untuk peningkatan produksi PT MSM dan PT TTN, yang kemudian disetujui oleh Tim Teknis Komisi Penilai AMDAL Pusat, namun terjadi penolakan AMDAL oleh Gubernur Sulut SH Sarundajang pada Februari 2007 lalu, dengan alasan penolakan itu berasal dari warga sekitar tambang dan melanggar rencana tata ruang Perda Nomor 3 tahun 1991. "PT MSM dan PT TTN telah menginvestasikan 90 juta dolar AS atau sekitar Rp 800 miliar hingga tahun ini. Berdasarkan perkiraan kami, 80 persen warga di sekitar tambang mendukung operasional PT MSM dan PT TTN," ujar Donny sambil menambahkan dukungan mayoritas warga dilakukan bukan tanpa alasan, apalagi Perda Nomor 3 tahun 1991 sangat mendukung dan mencantumkan areal Kontrak Karya Pemerintah Pusat dan PT MSM. Donny menegaskan, setiap investor berhak mendapatkan kepastian hak, hukum dan perlindungan, termasuk keterbukaan informasi mengenai bidang usaha yang dijalankannya, sesuai peraturan yang berlaku. "Jangan sampai ada standar ganda para pemegang kebijakan, yang di satu sisi menolak, sedangkan sisi lain menerima investasi dengan alasan yang diskriminatif tanpa dasar yang jelas," tegasnya. Sementara itu, dalam Diskusi yang bertemakan “Membenahi kebijakan investasi: Siapa Untung di Industri Pertambangan”, itu menghadirkan pembicara Prof Dr M Daud (pakar hukum pertambangan Unpad Bandung), Lukman Mokoginta (staf khusus Meneg LH), Arnold Laoh (staf ahli gubernur Sulut) dan M Marpaung (ESDM) yang diharapkan mampu menciptakan solusi strategis, sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan bangsa. Koordinator Panitia Diskusi dari Komunitas Lentera, M Rodli Kaelani, mengatakan, pemerintah pusat dan daerah perlu segera menggelar audit terbuka, terhadap seluruh investasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup, serta harus mengikuti peraturan yang berlaku, dan bukan dengan peraturan dan alasan pribadi. Aktivis PMII itu menilai, setiap investasi yang datang ke Indonesia harus mengikuti aturan hukum formal, yakni berdasarkan perangkat hukum dan ketentuan lainnya. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007