Atambua, NTT (ANTARA News) - Menyusul kerusuhan sporadis yang terjadi di Dili dan Baucau, Timor Leste, yang dipicu penunjukan Xanana Gusmao sebagai Perdana Menteri baru negara itu, Duta Besar RI di Timor Leste, Ahmad S Bey, menyatakan belum ada rencana dari KBRI untuk mengevakuasi semua WNI dari negara di sisi timur Pulau Timor itu. "Saya selalu laporkan perkembangan terkini ke Jakarta. Memang keadaan sedikit bergejolak, namun tidak sampai keluar rencana untuk mengevakuasi WNI di sini. Relatif terkendalilah, saya juga telah berkoordinasi dengan instansi pengamanan setempat, satuan pengamanan kita di perbatasan, dan dari PBB untuk hal ini," katanya dari Dili saat dihubungi ANTARA di Atambua, NTT, Kamis. Menurut dia, saat ini terdapat cukup banyak WNI di negara itu, yang kebanyakan bergiat di bidang perdagangan, jasa, dan transportasi. Hingga kini, perekonomian Timor Leste masih cukup banyak mengandalkan pengadaan berbagai komoditasnya dari Indonesia, karena lebih mudah diperoleh, birokrasi ringkas, dan harga bersaing dengan kualitas telah diterima secara baik. Sebelumnya, Presiden Jose Ramos Horta telah menggunakan hak konstitusionalnya dengan menunjuk rekannya, Ketua Umum Partai CNRT yang meraih 18 kursi di Parlemen, Xanana Gusmao, sebagai perdana menteri baru menggantikan Pejabat Perdana Menteri Estanislau da Silva. Da Silva sendiri menempati posisi itu setelah pemilu parlemen selesai digelar, namun pejabat definitif perdana menteri itu belum bisa ditentukan secara pasti oleh STAE-CNE, badan pelaksana Pemilu negara itu. Setelah mengalami kebuntuan dan kevakuman kepemimpinan definitif selama dua bulan dan terus-menerus mencoba mempertemukan berbagai kubu politik yang memenangi pemilu parlemen lalu, akhirnya Horta berinisiatif menggunakan hak konstitusionalnya dengan menunjuk Xanana Gusmao sebagai perdana menteri ketiga negara itu. Akibatnya, pendukung fanatik Partai Fretilin yang meradang atas penunjukan itu, apalagi setelah pemimpinnya, Mari Alkatiri, terang-terangan menyatakan keputusan itu sebagai hal yang illegal, langsung melakukan sejumlah aksi perusuhan. Di Ibukota Dili, hanya diperlukan waktu dalam bilangan jam untuk menyaksikan pembakaran ban, pencegatan mobil-mobil, dan sejumlah aksi lain, oleh kelompok-kelompok massa. Keadaan itu akhirnya menjalar ke Baucau, kota terbesar kedua di Timor Leste, yang terletak hanya sekitar 120 kilometer arah timur ibukota Dili. Aksi perusuhan dalam skala yang lebih kecil juga terjadi disana dan mendapat perhatian sangat serius dari aparatur keamanan dari PBB ataupun ISF yang dikomandoi Australia. Menurut Bey, keadaan di negara tetangga Indonesia itu relatif tidak merisaukan dan hingga saat ini belum diperoleh gangguan keamanan kepada WNI ataupun aset usaha yang dimiliki mereka. Dari Pintu Pos Perlintasan Utama Mota Ain di Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, ANTARA menyaksikan aktivitas perlintasan masih berjalan sebagaimana layaknya keadaan normal. Tidak dijumpai gejolak jumlah arus manusia dari Timor Leste ke Indonesia, dan jumlah itu masih dalam kisaran normal, yaitu antara 90 hingga 110 pelintas per hari dengan berbagai keperluannya. Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste Markas Besar TNI juga tidak menunjukkan peningkatan pengamanan yang berlebihan dan semua aktivitas mereka senantiasa didasarkan pada prosedur tetap yang berlaku selama ini. "Kami memang telah memperoleh kabar ada gejolak di sana. Saya dan jajaran di sini tetap waspada sambil mencermati setiap perkembangan yang terjadi," kata Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste Markas Besar TNI, Letnan Kolonel Infantri Hotman Hutahaean, dalam kesempatan terpisah. (*)

Copyright © ANTARA 2007