"Masyarakat, sekali lagi, tolong maafkan anak saya. Perjuangannya sampai di sini. Tapi saya tetap bangga, saya akan terus mendukungnya dalam olahraga menembak ini..."
Palembang, (ANTARA News) - Muhamad Naufal Mahardika terlihat lesu melihat skor hasil babak kualifikasi menembak nomor 10 meter air rifle di Jakabaring Sport City, Palembang, Senin. Ia berjalan gontai sambil melepas perlengkapan tandingnya.

Butiran air mata perlahan meleleh dan membasahi pipi petembak muda Indonesia itu. Kegagalan bukan sesuatu yang mudah untuk dilalui. Tangisnya pun pecah dipelukan ibundanya, yang selama pertandingan setia mendampingi.

Naufal bisa dibilang gagal total di Asian Games 2018. Pada babak kualifikasi nomor individual 10 meter air rifle, ia hanya berada pada peringkat 23 dengan perolehan 617,2 poin.

Sehari sebelumnya, ia juga kandas di kualifikasi nomor beregu campuran 10 meter air rifle saat berpasangan dengan Daryanti Monica. Jangankan meraih emas, lolos dari babak kualifikasi saja Naufal sudah gagal.

Kondisinya sangat berbeda 180 derajat setahun lalu, saat ia meraih emas dan berada pada peringkat pertama pada SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Kegagalan beruntun itu seperti kado ulang tahun paling buruk baginya, yang baru saja berusia 17 tahun pada 17 Agustus lalu.

Menjadi seorang atlet olahraga ibarat menjalani hidup di roller coaster. Ketika atlet berprestasi, semua pujian setinggi langit datang tak henti-hentinya. Namun, ketika kalah, semua kritik seakan menghapus semua prestasi dan kerja keras atlet.

Kasus Mezut Ozil mungkin hanya salah satu kasus yang paling mengemuka ke permukaan pada tahun ini. Ketika Jerman gagal, semua kesalahan juga ditumpahkan kepadanya.

Padahal, pria keturunan Turki itu adalah salah satu pahlawan saat Jerman jadi kampiun Piala Dunia di Brasil 2014.

Ozil kemudian mengambil langkah ekstrim untuk mengakhiri karirnya membela tim Jerman.

Naufal memang belum sebesar Ozil dalam prestasinya sebagai atlet. Namun, keduanya sama-sama kurang mampu mengendalikan emosi di saat surutnya prestasi. Tentu akan berbeda reaksi Ozil terkait masalah tersebut, apabila Jerman menang Piala Dunia.

Perbedaan keduanya adalah, Ozil sudah berada di ujung karirnya sebagai atlet. Pada akhir tahun ini, mantan gelandang Real Madrid ini akan berusia 30 tahun. Tentunya, federasi sepak bola Jerman sebenarnya tidak akan terlalu rugi melepasnya.

Sebaliknya, Naufal, masih sangat muda dan bisa dibentuk. Kegagalan dirinya secara pribadi, dan tentu juga kegagalannya sebagai bagian tim menembak Indonesia, harus menjadi pelajaran bersama terutama untuk pihak yang terkait dalam pembinaan olahraga menembak.

                                                                                                  Perkuat Mental Petembak

Ketika gagal pada kualifikasi nomor beregu campuran 10 meter air rifle, Naufal sudah mengisyaratkan bahwa dirinya sudah kalah dalam mental bertanding, bahkan sebelum peluru ditembakkan.

Ia menilai, kurangnya jam terbang dalam pertandingan internasional menjadi salah satu penyebabnya.

"Dengan (banyak) uji coba, mental lebih percaya diri. Kalau jarang-jarang kan jadi rada minder dengan atlet lain," katanya.

Ia menjelaskan, petembak Indonesia sangat kurang menambah jam terbang terutama pada pertandingan tingkat internasional. Selama setahun terakhir, lanjutnya, memang ada para petembak yang dua kali mengikuti kejuaran dunia. Namun, itu pun karena masuk dalam pemusatan latihan nasional.

"Kalau atlet negara lain dari jam terbang mereka dalam setahun bisa tujuh sampai delapan kali ikut World Cup (kejuaraan dunia). Kita boro-boro, setahun sekali juga susah," katanya.

Dan ketiga gagal untuk kedua kalinya. Naufal benar-benar tidak bisa menahan emosinya. Beruntung ia punya seorang ibu yang langsung memeluknya erat-erat ketika anaknya gagal. Ibundanya, Fardiah, membisikan sesuatu ke telinga Naufal.

"Saya menyemangatinya. Ada saatnya dia harus jadi juara, ada saatnya dia gagal. Semua ini ada campur tangannya Tuhan. Intinya, ini bukan rezekinya," kata Fardiah.

Perempuan berusia 50 tahun ini juga mengatakan, kelemahan dari atlet Indonesia adalah kurangnya dana untuk uji coba di kejuaraan dunia. Padahal, ia meyakini bibit-bibit petembak handal sangat banyak di Indonesia.

"Jadi secara mental kurang teruji, jadi otomatis lebih banyak demam panggungnya. Apalagi ini main di negeri sendiri. Dukungan yang bagaimana pun tetap saja berdampak pada psikis anak," katanya.

Dengan kegagalan di Asian Games ini, Fardiah berusaha untuk tetap menjaga mental Naufal agar tidak berhenti menjadi atlet menembak. Mereka memutuskan pulang untuk bersiap menghadapi kejuaraan dunia menembak di Korea Selatan pada Agustus ini.

"Akhir Agustus ini dengan biaya sendiri, Naufal ikut kejuaraan dunia," katanya.

Ia merasa tetap bangga karena di usia yang sangat muda, Naufal berusaha membela Indonesia di kejuaraan antar-bangsa negara-negara di kawasan benua Asia. Ia berharap masyarakat bisa memafkan kekalahan Naufal.

"Masyarakat, sekali lagi, tolong maafkan anak saya. Perjuangannya sampai di sini. Tapi saya tetap bangga, saya akan terus mendukungnya dalam olahraga menembak ini," katanya.
(T.F012)

Baca juga: Noufal menangis karena tampil buruk
 

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2018