Kamu, ketrampilan sudah tidak ada terus masih tidak semangat, mau ngapain? Gak usah main aja!
Hampir setiap hari arena-arena pertandingan Asian Games 2018 kedatangan segerombolan remaja putri yang seringkali menggunakan kostum seragam.

Mereka kemudian bernyanyi dan menari menghibur para penonton yang terkadang tidak terlalu padat-padat amat kendati loket menyatakan tiket sudah habis.

Aktivitas serupa juga beberapa kali terlihat di arena pertandingan bola basket Asian Games 2018, terutama jika wakil Indonesia tengah bertanding, baik tim putra maupun putri.

Ironisnya, boleh jadi para remaja putri yang tergabung dalam grup idola itu menjadi sajian yang paling menghibur bagi para penonton, terutama dari kalangan masyarakat Indonesia yang menyempatkan diri menyaksikan tim bola basket putra-putri Indonesia berlaga.

Menyaksikan tim negaranya menelan kekalahan dengan skor yang tidak terlalu kompetitif, jika tidak mau dibilang telak, tentu bukanlah sebuah rutinitas yang menyenangkan, setebal apapun nasionalisme, tanpa mengurangi rasa hormat atas jerih payah para pemain yang berlaga.

Sedangkan nyanyian dan tarian sejauh apapun dari selera, selama itu terlihat dilakukan dengan padu tentunya akan menghasilkan tujuan yang dibidik penampil, yakni menghibur.

Para remaja putri itu tentu saja tidak serta merta bisa menjadi penghibur yang andal, yang terus menyunggingkan senyum kendati sambutan yang mereka dapatkan tak selalu ramah.

Mereka pastinya melewati proses pelatihan, yang meski tentunya tidak seberat latihan atlet secara fisik, tapi bisa jadi setara dalam hal mental. Tuntutan untuk menjadi seorang profesional, baik sebagai penampil maupun atlet sama saja bisa membebani pikiran dan mental.

Namun, sementara para penampil dari grup idola berlabel JKT48, yang merupakan "sister group" alias kelompok saudari dari pioner mereka di Jepang AKB48, berhasil mencapai garis finis dari upaya mereka untuk jadi yang terbaik di bidangnya, para atlet tim bola basket Indonesia masih jauh dari garis finis itu.

Tentu saja, Indonesia berhasil memastikan satu tiket ke cabang olahraga bola basket saat Asian Games 2022 digelar di Hangzhou, China, setelah tim putra menempati peringkat kedelapan akhir turnamen sedangkan tim putri sedikit lebih baik dengan meraih urutan ketujuh. Namun, jika Indonesia tidak segera berbenah, bukan tidak mungkin nasib mereka di Hangzhou nanti hanya sebagai pelengkap semata.


Postur

Persoalan postur badan atlet kerap muncul sebagai penjelasan dari mulut Pelatih Kepala Tim Putra Indonesia, Fictor Roring, maupun Pelatih Kepala Tim Putri Indonesia, Arif Gunarto, setiap kali tim yang mereka arsiteki menelan kekalahan dari lawan.

Jika ada anggapan bahwa postur tubuh berbanding lurus dengan prestasi, tim putri Jepang sukses mementahkan hal tersebut.

Secara rata-rata tinggi badan, "roster" putri Jepang hanya menempati urutan kelima tertinggi di antara tim-tim yang berlaga dalam Asian Games 2018 dengan rata-rata 1,75 meter dengan "center" muda Kadysha Juna Umezawa sebagai pemain terjangkung dengan tinggi badan 1,88 meter.

Kendati demikian, Jepang sukses meraup hasil akhir sebagai peraih medali perunggu usai mengalahkan Chinese Taipei 76-63 pada perebutan tempat ketiga.

Lawan mereka, Taipei, menempati urutan keempat dalam rata-rata tinggi badan "roster" yakni 1,76 meter dengan Bao Hsile sebagai pilar tertinggi, setinggi 1,96 meter, meski tak banyak berkontribusi untuk timnya.

Bahkan, jika hasil undian tak mempertemukan mereka dengan China di satu grup yang sama, bukan tidak mungkin Jepang bisa melangkah lebih jauh, lantaran dua kekalahan yang mereka telan dari total tujuh laga yang mereka jalani, keduanya dialami ketika menghadapi China, tim yang akhirnya melaju menyabet medali emas.

Pasalnya, catatan statistik Jepang memperlihatkan mereka membayang-bayangi China dalam beberapa aspek terutama untuk urusan menyerang.

Total akurasi tembakan berhasil misalnya, Jepang membukukan 48,6 persen hanya kalah dari China yang menorehkan 58,9 persen.

Dalam akurasi tembakan tripoin, Jepang mencatatkan 33,1 persen setelah China yang memiliki 43,2 persen.

Jepang bahkan merajai akurasi lemparan bebas dengan 81,1 persen, yang memperlihatkan bahwa kemampuan fundamental menembak disertai ketenangan mereka salah satu yang terbaik.

Kemampuan Jepang membaca permainan lawan juga diperlihatkan dengan catatan rata-rata 13 "steal" per laga, di bawah China yang mengumpulkan 18,1 "steal" per laga.

Kepaduan serangan Jepang juga membuat mereka menjadi kedua yang terkecil dalam melakukan "turnover" sepanjang turnamen dengan 13,6 kali per laga, setelah China yang hanya melakukan 11,6 "turnover" per laga, serta memimpin raihan poin dari situasi "fast break" alias poin balasan serangan dan poin dari serangan balik dengan catatan masing-masing 23,7 poin serta 30,7 poin per laga.

Pada akhirnya, basket putri Jepang memang tidak berhasil menembus Tembok Besar China untuk menjadi yang terbaik di Asia, namun dengan postur tinggi badan bukan yang tertinggi mereka sukses menasbihkan diri sebagai salah satu yang terbaik di Asia.

Perunggu yang diraih merupakan medali perunggu basket putri keempat Jepang dalam empat edisi terakhir Asian Games, yang sepanjang sejarah mereka telah mengoleksi dua emas, satu perak, dan tujuh perunggu.

Tentang kepiawaian Jepang menembus keterbatasan postur tubuh yang tidak bisa diubah diakui oleh Pelatih Kepala Basket Putri Indonesia, Arif Gunarto.

"Jepang itu, memang harus diakui posturnya tidak tinggi, tapi fundamental ketrampilan basketnya sudah bagus. Beda sekali, bisa dilihat dari kuda-kuda kakinya dan banyak hal lain," kata pelatih yang juga akrab disapa Njoo Lie Fan itu.

Indonesia yang akhirnya berhasil meraih peringkat ketujuh demi memastikan satu tempat di Asian Games 2022 di Hangzhou, China, secara kasat mata seolah hanya mengandalkan Natasha Debby Christaline dan Gabriel Sophia dalam penampilan mereka.

Debby bahkan menjadi top skor turnamen dengan raupan total 148 poin, meski secara akurasi tembakan ia bahkan tidak masuk 10 besar dengan catatan hanya 34,5 persen saja.

Sementara Gaby mencatatkan namanya dalam klasemen peraih "rebound" terbanyak dengan rata-rata total 44 kali dalam tujuh pertandingan atau rata-rata 6,3 "rebound" per laga.

Gaby juga menjadi pemain paling agresif sepanjang turnamen dengan catatan 28 kali "personal foul" dalam tujuh pertandingan.

Kendati demikian, jurang perbedaan kemampuan antara keduanya dengan para pemain lain diakui oleh Arif nyata terjadi di dalam roster Indonesia yang memiliki rata-rata tinggi badan 1,73 meter dan usia 21,7 tahun, tim termuda Asian Games 2018.

Bahkan, sepanjang penampilan di Asian Games 2018, Arif menyebut timnya tampil dengan sepenuhnya mengandalkan semangat.

"Saya bilang ke anak-anak, `Kamu, ketrampilan sudah tidak ada terus masih tidak semangat, mau ngapain? Gak usah main aja!` Itu selalu saya bilang. Jepang kecil-kecil. Sama dengan kita kurang lebih. Bedanya, mindset. Mindset itu dari mana? Pelatih," tegasnya.

Indonesia tentu masih memiliki pekerjaan besar untuk memperbaiki kemampuan fundamental tim basket putri, jika ingin bersaing di Asian Games 2022 atau yang terdekat SEA Games 2019 di Manila, Filipina.

Dengan komposisi pemain yang masih muda, seharusnya masih ada kesempatan untuk mengubah kemampuan dasar bola basket baik itu dari kuda-kuda tembakan ataupun kepaduan gerak saat menerapkan strategi bertahan dan menyerang.

Jepang, dengan segala capaian yang sudah diperoleh patut menjadi opsi untuk tujuan menimba ilmu. Supaya di arena basket nanti, saat tim putri Indonesia tampil, aksi grup idola kadarnya betul-betul dikembalikan sebagai penghibur selingan semata.

Sedangkan sajian utamanya adalah perjuangan berbasis kemampuan berbalut semangat dari para pemain putri Indonesia.*

Baca juga: Ringkasan hasil bola basket, China tegaskan diri sebagai penguasa Asia

Baca juga: Parade serba terbaik dari bola basket


 

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018