Sebagai penguasa jagat milenial, generasi muda harus menjadi 'netizen' yang baik, tidak asal 'share' berita, apalagi yang dapat memprovokasi orang lain
Jakarta (ANTARA News) -  Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara yang juga pemerhati masalah keamanan nasional  Stepi Anriani.,S.IP.,M.Si menyatakan kalangan muda milenial harus cerdas memanfaatkan dan menanggapi sebuah peristiwa, yang beredar di jagat maya.

"Sebagai penguasa jagat milenial, generasi muda harus menjadi 'netizen' yang baik,  tidak asal share berita, apalagi yang dapat memprovokasi orang lain," katanya di Jakarta, Ahad.

Ia menjelaskan, gagasan itu juga disampaikannya akhir pekan lalu pada diskusi Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Aceh, ketika dirinya diundang pada peringatan Sumpah Pemuda 2018 di Banda Aceh. Stepi menyampaikan paparan berjudul "Pemuda Millenial: Generasi Anti-hoax dan Waspada Ancaman Siber."

Kegiatan itu dihadiri oleh 100 orang peserta yang terdiri atas wakil Universitas Syiahkuala dan UIN Ar-raniry, organisasi kepemudaan dan tokoh masyarakat Aceh.

Menurut Stepi demokrasi merupakan sistem yang sudah dipilih oleh Bangsa Indonesia untuk berproses dan mencapai kesejahteraan rakyat.

Ia merujuk penelitian yang menyatakan bahwa biasanya negara yang menganut demokrasi, 70 persen di antaranya menjadi negara sejahtera dan negara maju. "Namun mengapa Indonesia belum mencapai hal itu?".

Menurut dia, ada anomali demokrasi Indonesia yaitu primordialisme, etnisitas yang membuat masyarakat Indonesia masih mengedepankan faktor kesukuan, kesamaan agama, etnis dan belum objektif kepada kemampuan calon pemimpin yang akan dipilihnya.

Malahan, ia menilai demokrasi hari ini cenderung kebablasan sehingga seringkali memunculkan ketegangan politik, di antaranya proses suksesi menuju tahun politik 2019.

Disampaikannya bahwa dengan kemajuan teknologi, maka ruang-ruang kampanye juga lebih banyak berada di dunia maya. Salah satunya penggunaan media sosial.

Saat ini kontestan politik harus mendapatkan hati masyarakat di dunia nyata maupun di dunia maya (netizen). Seringkali berita yang trending di medsos menjadi rujukan berita arus utama atau media konvensional seperti televisi dan koran.

"Hiruk pikuk di lini masa mengenai kontes politik 2019 juga diperparah dengan banyaknya ancaman siber sehingga ketegangan politik terindikasi mengarah kepada retaknya persatuan dan kesatuan bangsa,"kata Stepi Anriani, yang baru meluncurkan buku ""Intelijen dan Pilkada".
Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara Stepi Anriani.,S.IP.,M.Si menerima penghargaan usai menjadi narasumber yang diselenggarakan Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Aceh di Banda Aceh. (ANTARA FOTO-HO-Stepi A)


Menurut Stepi, ancaman dunia maya bisa dibedakan menjadi dua kelompok besar. Pertama, ancaman ringan (soft) yang fokus kepada konten seperti hoaks, hate speech, hate spin (pemutar balikan fakta), fake news yang dampaknya bisa sangat berbahaya.

"Banyak perang besar diawali karena hoaks', katanya.

Kedua, ancaman yang sifatnya hard yang fokus kepada jaringan, sistem data seperti cyber war, hacking (menyerang), cracking (merusak), carding (menguasi), defacing (secara diam-diam) dan lainnya.

"Berbahaya jika data sudah didapatkan dan dimanfaatkan untuk kejahatan dijual kepada pihak yang tidak bertanggung jawab, terjadi manipulasi data, sehingga rentan sekali terjadi terhadap penyelenggara pemilu," katanya.

Karena itu, ia memberikan saran kepada generasi muda milenial agar memahami dulu jika ingin membagikan berita, apa manfaatnya, menjadi inspirasi atau lebih banyak mudhoratnya, atau dapatkah berita tersebut menolong orang lain.

"Jadi, harus pandai-pandai merespon berita sehingga kita tidak menjadi pengedar hoaks," demikian Stepi Anriani.


Baca juga: Pemilih milenial jadi magnet politisi

Baca juga: Menangkis serangan melalui dunia maya

Baca juga: Kalangan milenial akan mendominasi pasar wisata dunia

 

Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018