Pemimpin Kim tahu bahwa Trump menjadi satu-satunya kesempatan bagi Korea Utara untuk mendapatkan apa yang mereka mau.
Washington DC (ANTARA News) - Banyak jalan menuju Roma. Demikian pepatah menggambarkan bagaimana ada banyak cara  untuk mencapai suatu tujuan. Namun untuk perdamaian di Semenanjung Korea, tampaknya hanya ada satu cara yang saat ini dapat terukur, yakni negosiasi menuju perlucutan senjata nuklir Korea Utara.

Perkembangan situasi di Semenanjung Korea yang ditampilkan dengan berbagai perhelatan bersejarah setahun terakhir, yakni pertemuan Inter-Korea di Panmunjom pada 27 April antara Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong-un yang diikuti pertemuan Presiden Donald Trump dan Kim Jong-un di Singapura pada 12 Juni lalu.

Namun, ketegangan yang menurun yang ditampilkan melalui berbagai pertemuan historis tersebut rupanya belum mengerucut menjadi sesuatu yang jelas menuju stabilitas dan perdamaian Semenanjung Korea. Hampir setegah tahun berlalu sejak pertemuan Trump-Kim di Singapura, tetapi hingga saat ini belum ada satu pun negosiasi untuk menjabarkan kesepakatan kedua pemimpin itu yang dituangkan melalui Deklarasi Sentosa.

Pejabat senior Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengonfirmasi dalam pertemuan nirwarta kepada jurnalis program Kunjungan Liputan Meridian International Center di Washington DC, AS, awal Desember ini, bahwa belum ada satu pun pertemuan di level teknis untuk memperjelas poin-poin Deklarasi Sentosa guna menuju negosiasi konkrit perlucutan nuklir di Korea Utara.

Fokus utama kebijakan luar negeri Trump terhadap Korea Utara memang denuklirisasi di Semenanjung Korea, di samping tiga poin lainnya dalam Deklarasi Sentosa, yakni perbaikan hubungan kedua negara, komitmen mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea dan pengembalian tahanan perang selama Perang Korea 1950-1953.

Meskipun belum ada negosiasi, namun pejabat senior yang juga salah satu utusan khusus AS untuk Korea Utara tersebut mengatakan jalan menuju ke sana makin mengerucut dan pihaknya tengah menggalang dukungan dari empat negara kunci, yakni China, Rusia, Jepang, dan tentunya, Korea Selatan, untuk mempercepat terjadinya perundingan.

Selain Korea Selatan, AS perlu dukungan China yang diketahui luas memiliki hubungan yang baik dan terjaga sejak perjanjian gencatan senjata untuk menghentikan Perang Korea pada 1953 hingga saat ini, terutama di bidang ekonomi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, meskipun China salah satu anggota Dewan Tetap Keamanan PBB, yang menyepakati resolusi untuk pemberian sanksi bagi Korea Utara, namun di lapangan kegiatan perdagangan dan ekonomi tetap berlangsung antara kedua negara tersebut.

Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Komite HAM Korea Utara Greg Scarlatoiu, hampir 90 persen transaksi keuangan yang dilakukan pekerja paksa Korea Utara di luar negeri akan melalui China, termasuk juga bantuan asing bagi Korea Utara juga ditransfer melalui China.

Negara kunci kedua, yakni Rusia, menjadi penting, karena selain hubungan historis saat Uni Soviet mengirimkan pasukan bala bantuan ke utara saat perang dengan Jepang, dan kini kepentingan dagang untuk mengekspor gas alam mereka ke wilayah Asia Timur, negeri beruang merah itu memerlukan stabilitas di Semenanjung Korea.

Pejabat senior Kemlu AS itu pun menggarisbawahi denuklirisasi menjadi jalan utama untuk mencapai stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea yang akan makin nyata jika Rusia dapat memberikan dukungan untuk kembali menekan Pemimpin Korea Utara untuk maju ke perundingan.

Namun, penggalangan dukungan yang dilakukan AS itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai kepentingan, baik bilatreal maupun global, menjadi ganjalan yang perlu disikapi dengan berbagai sikap kompromi.

Tantangan terutama datang dari hubungan bilateral AS-China, terutama sentimen ekonomi yang diwarnai perang dagang dan aksi saling balas proteksi dan tarif impor bagi produk masing-masing.

Bukan rahasia pula bahwa hubungan AS dan Rusia cukup tegang akhir-akhir ini terutama atas tuduhan campur tangan Moskow dalam Pemilu Presiden AS 2016 lalu. Meskipun demikian, AS coba menyakinkan Rusia bahwa perundingan dengan Korea Utara untuk denuklirisasi akan mengantarkan pencabutan sanksi dan akan menguntungkan ekonomi semua pihak, demikian ditekankan pejabat Departemen Luar Negeri AS itu.

Di sisi lain, optimisme pemerintahan Trump untuk memajukan perundingan perlucutan nuklir di Korea Utara dinilai abstrak oleh berbagai ahli dan pengamat karena tidak adanya strategi yang jelas atas apa tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya.

Peneliti Senior Isu Korea Utara dari Pusat Studi Kebijakan dan Hubungan Internasional (CSIS) Washington DC, Dr. Sue Mi Terry, mengatakan Presiden Trump mungkin memang berhak mengklaim keberhasilan mencatatkan sejarah dalam pertemuan pertama antara presiden AS dan pemimpin tertinggi Korea Utara sepanjang hampir lebih dari 50 tahun upaya denuklirisasi di Korea Utara.
 
Peneliti Senior Isu Korea Utara dari Pusat Studi Kebijakan dan Hubungan Internasional (CSIS) Washington DC, Dr. Sue Mi Terry. (ANTARA News/Azizah Fitriyanti)



Namun, pertemuan di Singapura pada Juni 2018 itu akan menjadi sia-sia jika tidak ada suatu strategi konkrit dari pemerintahan Trump untuk mencapai negosiasi. Terlebih rezim Kim tampaknya tidak suka melakukan pertemuan di tingkatan teknis dengan pejabat senior AS, bahkan Kim menolak bertemu dengan Menteri Negeri AS Mike Pompeo sebelum pertemuan di Singapura.

"Pemimpin Kim tahu bahwa Trump menjadi satu-satunya kesempatan bagi Korea Utara untuk mendapatkan apa yang mereka mau, tapi di sisi lain pemerintahan Trump tidak menunjukkan strategi dan tujuan yang jelas yang ingin diraih dari perundingan ini, bahkan tidak untuk persetujuan akan arti denuklirisasi sendiri, apakah seluruhnya, apakah hanya untuk misil jarak jauh?" kata Terry dalam penjelasan kepada jurnalis peserta program Kunjungan Liputan Meridian International Center di Washington DC, Rabu (5/12).

Selain peran China dan Rusia, sebenarnya AS perlu lebih mengajak Jepang dalam upaya percepatan perundingan, mengingat hubungan sejarah dan kepentingan Jepang terhadap pengembalian warga negaranya yang diculik agen Korea Utara, serta wilayah Jepang yang kerap menjadi jalur uji coba senjata nuklir Korea Utara.

Sayangnya, lanjut Terry, peran Jepang yang strategis di kawasan, sebenarnya tidak dianggap "penting" oleh Kim. Hal tersebut tampak dalam pendekatan yang dilakukan putra Kim Jong-il itu yang melakukan pertemuan dengan Presiden China Xi Jin Ping, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, namun belum ada satupun pertemuan maupun pernyataan niat untuk bertemu Perdana Menteri Shinzo Abe.

Padahal, terlepas dari rangkaian provokasi uji coba senjata nuklir yang kerap melintasi wilayah Jepang dan penculikan warga negaranya, Jepang sebagai salah satu negara maju di kawasan telah mengindikasikan minat untuk membantu pertumbuhan ekonomi Korea Utara.

Menurut Terry, pendekatan yang dilakukan AS kepada empat negara kunci di sekitar Korea Utara itu akan terbukti efektif saat Kim Jong-un, setidaknya, hadir pada pertemuan tingkat tinggi ke dua di Seoul, Korea Selatan, yang digadang-gadang akan terjadi paling lambat pada Januari 2019. Saat itu, diharapkan AS telah memiliki strategi yang jelas tentang misi yang ingin dicapai.

"Pendekatan ke negara-negara itu akan sia-sia jika AS tidak segera memanfaatkan momentum yang kita raih selama setahun terakhir ini. Bagaimana pun, saya percaya Kim tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, dan dia akan datang ke pertemuan tingkat tinggi kedua," kata dia.

Usai Perang Korea dihentikan sementara melalui perjanjian gencatan senjata antara AS yang mewakili PBB dan Korea Utara pada 1953, Semenanjung Korea menjadi satu-satunya wilayah yang secara de facto masih dalam status perang. Lebih dari 65 tahun berlalu, Perjanjian Damai belum juga tercapai dan dua Korea terbelah oleh perbedaan ideologi.

Upaya damai di satu sisi, dan keinginan bersatu kembali menghadapi berbagai tantangan yang tak mudah untuk dihadapi. Dua Korea yang telah lama berpisah dan tumbuh dengan sistem dan ideologi masing-masing, menciptakan Korea Selatan sebagai salah satu negara demokrasi dengan ekonomi yang maju dan Korea Utara yang berambisi menjadi negara nuklir yang kuat di kawasan.

Tantangan itu juga diwarnai dinamika kawasan yang berubah dengan China muncul sebagai kekuatan baru, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga militer, yang secara nyata menunjukkan dukungan pada Korea Utara, tampak menjadi tandingan bagi Korea Selatan yang merupakan sekutu AS. Di tengah situasi tersebut, momentum pertemuan Moon-Kim di Panmunjon dan Trump-Kim di Pulau Sentosa perlu segera ditindaklanjuti dengan negosiasi yang menghasilkan kesepakatan kongkrit, utamanya, yakni denuklirisasi. 

Apabila tiga serangkai Moon-Kim-Trump mampu mencapai kesepakatan konkrit soal perlucutan senjata nuklir, bukan tidak mungkin hal itu dapat menjadi langkah awal menuju perjanjian damai yang mengakhiri status perang di Semenanjung Korea dan pada akhirnya pencapaian stabilitas di kawasan.

Prosesnya jelas tidak akan mudah mengingat berbagai kepentingan, baik dari dua Korea, maupun berbagai negara yang merasa perlu menancapkan pengaruh di kawasan. Meskipun sulit, bukan berarti tidak bisa dilalui. Selain peran AS, upaya dunia internasional untuk mengajak Pemimpin Korea Utara maju ke perundingan sangat diperlukan untuk menapaki jalan panjang menuju perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.*



Baca juga: Menhan AS: tidak ada rencana tangguhkan pelatihan di Semenanjung Korea

Baca juga: Peran Indonesia dalam perdamaian Semenanjung Korea diapresiasi



 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018