Brisbane (ANTARA NeWs) - Pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji ternyata ikut meramaikan wacana politik Australia tentang hukuman mati, dengan memberi sinyal "langkah mundur" Indonesia dalam mendukung hukuman mati dan indikasi penundaan eksekusi mati terhadap Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudera. Pandangan Jaksa Agung terungkap dalam laporan Harian "The Sydney Morning Herald", Rabu, yang didasarkan pada hasil wawancara khusus wartawannya di Jakarta dengannya menjelang peringatan lima tahun insiden Bom Bali pada 12 Oktober. Surat kabar milik grup Fairfax itu menyebutkan sinyal Hendarman Supandji itu memberikan "harapan baru" kepada enam terpidana mati kasus penyelundupan narkoba Australia di Bali. Dalam dua hari terakhir, kubu Partai Buruh Australia (ALP) dan Pemerintah Federal terlibat perdebatan politik yang hangat tentang isu hukuman mati di tengah persaingan ketat kedua kubu meraih simpati publik dalam pemilu federal 2007 yang diselenggarakan sebelum Natal. Perdebatan itu muncul setelah, dalam pidatonya Senin malam (8/10), Menlu bayangan ALP, Robert McClelland, mengritik tajam sikap ambivalen pemerintahan PM John Howard yang menolak warganya dieksekusi mati di luar negeri, tetapi mendukung hukuman mati bagi orang-orang seperti Osama bin Laden, Saddam Hussein, dan Amrozi. Terkait dengan nasib "hukuman mati" dalam sistem hukum Indonesia, Hendarman Supandji mengatakan ia menyerahkan saja masalah itu kepada kemauan rakyat Indonesia. "Masih terjadi kontroversi di masyarakat tentang hukuman mati. Saya pulangkan saja kepada kemauan rakyat. Jika Bangsa Indonesia menolak, ya sebagai Jaksa Agung, saya harus mengikutinya," tanya. Hendarman mengemukakan kecenderungan internasional saat ini dimana banyak negara menghapus hukuman mati juga patut dipertimbangkan secara hati-hati. Mahkamah Konstitusi akan memutuskan apakah keputusannya berlaku juga bagi orang-orang yang sudah dijatuhi hukuman atau hanya pada kasus-kasus mendatang, katanya. Hendarman juga menegaskan bahwa eksekusi Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera tidak akan terjadi sebelum 12 Oktober 2007, karena ketiganya harus terlebih dahulu menerima surat penolakan MA atas permohonan Peninjauan Kembali (PK) mereka, dan mereka akan ditanya apakah mau mengajukan grasi. Perang Sehari sebelumnya, Perdana Menteri John Howard menanggapi kritik kubu Partai Buruh yang disampaikan Menlu bayangannya, Robert McClelland. Howard mengatakan pemerintahnya menolak penerapan hukuman mati di Australia, namun adalah urusan negara lain jika menerapkannya terlebih lagi kepada "orang-orang yang telah membunuhi warga Australia". "Mustahil bagi saya pribadi baik sebagai warga Australia, Perdana Menteri, dan invididu untuk berpendapat bahwa eksekusi itu tidak usah dilakukan ketika mereka membunuh warga negara saya," katanya. Orang terakhir yang dihukum mati di Australia adalah Ronald Ryan pada 1967. Sejak lahirnya UU Penghapusan Hukuman Mati 1973, seluruh negara bagian di negara berpenduduk 20,2 itu telah meniadakan hukuman mati. McClelland menyerang sikap ambilaven pemerintahan Howard yang mendukung eksekusi bagi para terpidana kasus Bom Bali 2002 yang menewaskan 88 warga Australia, namun tidak bagi warga Australia yang terancam hukuman mati di luar negeri. Menteri luar negeri bayangan ALP itu mengatakan pihaknya akan konsisten menolak hukuman mati bagi siapa pun, baik para teroris atau pun warga Australia yang terlibat kasus penyelundupan Narkoba di luar negeri. Jika Partai Buruh memerintah Australia, pihaknya berjanji mengawali kampanye anti-hukuman mati di negara-negara seperti China, Jepang, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Singapura. Hanya saja pernyataan McClelland bahwa ALP tidak setuju dengan hukuman mati kepada siapa pun, termasuk Amrozi Dkk, justru dimanfaatkan kubu Howard untuk "menyerang" pemimpin oposisi Kevin Rudd. Rudd yang sejak lama dikenal konsisten menolak hukuman mati itu dianggap kubu pemerintah tidak sensitif terhadap keluarga-keluarga Australia yang kehilangan anak dan sanak saudaranya dalam insiden Bom Bali 12 Oktober 2002. Amnesti Internasional Australia sendiri telah mengimbau Pemerintah Indonesia untuk menghentikan rencana eksekusi Amrozi Dkk dan menggantinya dengan "hukuman seumur hidup". Bahkan organisasi ini juga mendorong publik Australia dan siapa saja yang menolak hukuman mati untuk menyurati Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb. Insiden Bom Bali 12 Oktober 2002 yang melibatkan belasan orang pelaku itu menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia. Selain Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera, mereka yang didakwa dan dituduh terlibat dalam kasus itu adalah Ali Imron, Abdul Goni, Abdul Hamid (kelompok Solo), Abdul Rauf (kelompok Serang), Achmad Roichan, Andi Hidayat (kelompok Serang) dan Andi Oktavia (kelompok Serang). Seterusnya, Arnasan alias Jimi (tewas), Bambang Setiono (kelompok Solo), Budi Wibowo (kelompok Solo), Dr Azahari alias Alan (tewas dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu tanggal 9 November 2005), Dulmatin Feri alias Isa (meninggal dunia), Herlambang (kelompok Solo), Hernianto (kelompok Solo), Idris alias Johni Hendrawan, Junaedi (kelompok Serang). Kemudian Makmuri (kelompok Solo), Mohammad Musafak (kelompok Solo) Mohammad Najib Nawawi (kelompok Solo), Noordin Mohammed Top, Sarjio alias Sawad, Surendro Wicaksono, Umar Kecil alias Patek, Utomo Pamungkas alias Mubarok, dan Zulkarnaen. (*)

Copyright © ANTARA 2007