Jakarta (ANTARA News) - Bappenas mengungkapkan Indonesia kemungkinan besar tidak akan mendapat lagi alokasi pinjaman murah (soft loan) dari dua lembaga donor internasional, yaitu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2009 karena perekonomian yang semakin baik dan status negara berpendapatan menengah yang kini disandang. "Beberapa negara sudah menyuarakan untuk mengurangi porsi pinjaman murah bagi Indonesia. Bahkan untuk Bank Dunia dan ADB, pada 2009 kita sudah tidak teralokasi untuk pinjaman IDA (International Development Association) dan ADF (Asian Development Fund). Mereka melihat PDB kita meningkat jika dilihat dari ukuran Bank Dunia," kata Deputi Bappenas bidang Pendanaan Pembangunan, Lukita Dinarsyah Tuwo, akhir pekan lalu di Jakarta. Dia menjelaskan, alokasi IDA, bagian dari kelompok pembiayaan Bank Dunia, dan ADF, soft loan dari ADB, untuk Indonesia per tahun masing-masing sebesar 100 juta dolar AS, yang penggunaannya bisa diakumulasi ke tahun berikutnya. Meski jumlahnya relatif kecil, tambahnya, pemerintah akan mengupayakan agar itu tidak terjadi dengan cara menghimbau kepada dua lembaga pemberi utang agar tidak menggunakan indikator PDB saja sebagai penentu layak tidaknya sebuah negara menerima pinjaman murah. "Kita minta pertimbangan agar dalam menentukan IDA dan ADF, jangan hanya melihat pada PDB per kapita, tapi lihat juga rasio kemiskinan mutlak (`extreme poverty?), itu bisa dipertimbangkan. Proyek-proyek di daerah miskin masih layak mendapat pembiayaan murah," tuturnya. Biasanya, pinjaman dengan menggunakan skema IDA berjangka waktu 35 tahun dengan 10 tahun masa tenggang (grace period) serta bunga tetap 0,75 persen per tahun. Sedangkan ADF berjangka waktu 32 tahun, dengan 8 tahun masa tenggang dan bunga tetap 0,75 persen per tahun. Dengan demikian, Indonesia kemudian akan mendapat pinjaman berbunga semi komersial pada 2009, yaitu dengan skema International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dari Bank Dunia dan Ordinary Capital Resources (ORC) dari ADB. Sebagai perbandingan, terms pinjaman IBRD adalah jangka waktu 20 tahun dan masa tenggang 5 tahun dengan bunga LIBOR dengan tambah up front fee atau commitment fee. Sedangkan terms pinjaman OCR adalah jangka waktu 24 tahun dan masa tenggang 4 tahun dengan bunga LIBOR plus serta up front fee atau commitment fee. LIBOR atau London Inter-bank Borrowing Rate merupakan patokan suku bunga pinjaman yang lazim digunakan oleh banyak lembaga dan institusi pembiayaan internasional. Terkait dengan dengan penghapusan tambahan margin di atas LIBOR untuk pinjaman IBRD dari Bank Dunia, Lukita mengatakan, pihaknya tengah membahas kemungkinan permintaan hal serupa untuk pinjaman semi komersial OCR dari ADB. "Itu kebijakan masing-masing donor, tapi kita bisa menyuarakan. Artinya, kita penerima akan secara agresif menyuarakan, kepada ADB misalnya, Bank Dunia sudah menurunkan, ADB kenapa tidak? Karena di tingkat internasional kan ada tren penurunan suku bunga," kata Lukita. Ditanya tentang kemungkinan penghapusan pembiayaan luar negeri sama sekali untuk menutupi defisit dan digantikan dengan pembiayaan dalam negeri, Lukita mengungkapkan, hal itu akan mempertimbangkan resiko yang ada dan kemampuan pemerintah. "Dalam konteks utang itu kan ada portofolio utang dalam negeri dan luar negeri. Itu ada kepentingannya masing-masing. Kalau dalam negeri, itu fleksibel dan kita bisa pergi ke pasar kapan aja. Tapi ada resiko gejolak pasar dan kemampuan dalam negeri untuk menyerap," jelasnya. Sementara pinjaman luar negeri, katanya, memiliki resiko nilai tukar dan resiko tekanan politis yang dialami kreditur. "Pinjaman luar negeri dari Bank Dunia masih kita cari karena kita juga ingin manfaatkan expertise mereka. Bank Dunia kan ada di seluruh dunia, desain-desain program mereka itu ada di mana-mana. Nah kita ingin memanfaatkan itu tanpa harus berangkat ke sana. Kalau mereka punya program bagus, kita bisa manfaatkan," katanya. Selain itu, dia mengingatkan, ada batas penerbitan obligasi dalam negeri untuk menutupi defisit, karena malah akan menjadi "bumerang" bagi pemerintah jika terjadi efek crowding out yakni kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah karena tingginya yield obligasi korporasi untuk menarik pasar.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007