Surabaya (ANTARA News) - Kejayaan prestasi bulutangkis nasional di kancah internasional dalam beberapa tahun ke depan makin terancam, terlebih bila tidak ada perombakan menyeluruh di tubuh Pengurus Besar PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) terutama soal pembinaan atlet. Hal itu dikemukakan Ketua Bidang Organisasi dan Pembinaan Daerah PB PBSI, Yacob Rusdianto, yang dihubungi wartawan di Surabaya, Senin, terkait hasil kejuaraan dunia yunior di Selandia Baru belum lama ini. "Bulutangkis Indonesia sudah bukan lagi masuk lampu kuning, tapi sudah lampu merah. Dan ini harus segera disikapi oleh PB PBSI," kata Yacob yang menjadi Manajer Tim Bulutangkis Indonesia di kejuaraan dunia yunior tersebut. Pada kejuaraan dunia yunior tersebut, pebulutangkis Indonesia hanya mampu berada di peringkat enam, kalah dari pesaingnya Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia. Yacob mengakui, kualitas pebulutangkis yunior Indonesia masih kalah dibanding negara lain. Bahkan dalam kejuaraan dunia itu, tidak ada satu pun pebulutangkis Indonesia yang diunggulkan. Kurangnya kesempatan mengikuti berbagai kejuaraan internasional, menjadi penyebab rendahnya peringkat yang dimiliki pebulutangkis Indonesia. Selain itu, pengalaman tanding mereka juga sangat minim dibanding pesaingnya. "Bahkan dari segi postur tubuh dan ketahanan fisik, termasuk akurasi pukulan, pemain-pemain kita bisa dibilang kalah. Harus ada pembenahan mendasar dari sistem pembinaan yang dilakukan saat ini, kalau kita tidak ingin tertinggal lebih jauh," kata Ketua Pengda PBSI Jatim ini. "Saya pikir dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PBSI di Solo pada 16 Nopember, masalah ini harus menjadi perhatian seluruh insan bulutangkis di tanah air. Kita jangan terlena dengan kekuatan yang ada sekarang, tapi bagaimana memikirkan kelanjutan prestasi bulutangkis kita kedepan," tambah Yacob. Pengamat bulutangkis Ferry Stewart mengakui bahwa sistem pembinaan atlet yang dilakukan PB PBSI saat ini, terutama Pelatnas, makin tidak jelas. Hal itu tampak dari belum banyaknya muncul pemain muda berkualitas yang akan menggantikan seniornya. "Kita tidak bisa terus mengandalkan Taufik Hidayat atau Soni Dwi Kuncoro dan pemain ganda lainnya. Sementara dari negara lain sudah bermuncullan pemain-pemain muda yang punya kualitas bagus," katanya. Ferry Stewart mengusulkan kepada PB PBSI untuk membentuk sistem pembinaan atlet Pelatnas secara berjenjang berdasarkan kelompok usia, mulai 14 atau 15 tahun hingga dewasa. PBSI tidak bisa terus-menerus mempertahankan sistem pembinaan yang berjalan saat ini, karena hasilnya terbukti kurang maksimal. "Istilahnya Pelatnas jangka panjang. Artinya pemain-pemain muda itu benar-benar dipersiapkan secara terprogram dan matang untuk beberapa tahun kedepan. Sejumlah negara, seperti Cina, Korea dan Malaysia sudah melakukan hal ini," ujar Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Pengda PBSI Jatim ini.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007