Jakarta (ANTARA) - Penyaluran kredit PT Bank BTPN Tbk hingga akhir Maret 2019 mencapai Rp139,84 triliun, meningkat 114 persen dibanding periode yang sama tahun lalu ditopang oleh segmen korporasi, UKM, pembiayaan konsumen, dan pembiayaan prasejahtera produktif.

Sementara aset bank hasil penggabungan usaha antara PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) itu mencapai Rp192,2 triliun, meningkat 101 persen dibandingkan posisi yang sama tahun lalu senilai Rp95,8 triliun.

“Nilai aset dan kredit ini merupakan gabungan dari neraca Bank BTPN dan SMBCI, terhitung sejak efektif merger pada 1 Februari 2019,” kata Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana di Jakarta, Kamis.

Ongki juga mengatakan, dari sejumlah indikator, Bank BTPN memperlihatkan kinerja yang sehat dan kuat. Rasio kecukupan modal sebesar 23,1 persen, rasio kredit bermasalah 0,8 persen, dan rasio likuiditas sebesar 89 persen.

Adapun laba bersih setelah pajak sebesar Rp507 miliar, lebih rendah 5 persen dari tahun lalu. Jika tidak memperhitungkan pajak, laba sebesar Rp801 miliar, hampir sama dengan tahun lalu.

“Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya biaya dana (cost of fund), sedangkankapasitas untuk mengompensasi peningkatan biaya dana ke para debitur terbatas,” kata Ongki.


Ia menjelaskan, selama triwulan pertama 2019, entitas baru hasil merger ini sejatinya bekerja efektif hanya dua bulan, yakni Februari dan Maret. Meski relatif singkat, roda organisasi tetap bekerja optimal sehingga dapat mempertahankan laju pertumbuhan. Hal ini menunjukkan penggabungan usaha berlangsung lancar dan sesuai ekspektasi.

Ia mengatakan, Bank BTPN juga melayani segmen korporasi berskala besar di Indonesia, seperti badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan multinasional, konglomerasi lokal Indonesia, dan perusahaan Jepang.

Pembiayaan korporasi antara lain mengalir ke proyek infrastruktur dan industri pendukung yang sejalan dengan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah Indonesia.

“Sebelum merger bisnis ini dikelola oleh SMBCI. Setelah penggabungan usaha, portofolio ini dicatatkan ke dalam neraca Bank BTPN. Apabila dibandingkan dengan posisi tahun lalu, pembiayaan korporasi tumbuh 12 persen, dari Rp64,3 triliun menjadi Rp71,9 triliun (yoy),” kata Ongki.

Ongki menjelaskan, segmen korporasi masih memiliki ruang yang sangat besar untuk bertumbuh. Optimisme ini sejalan dengan agenda besar pemerintah dalam menggalakkan infrastruktur demi mewujudkan pembangunan dan pemerataan di bidang ekonomi.

“Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), pemegang saham pengendali kami, memiliki keyakinan kuat terhadap masa depan ekonomi negeri ini. Dengan melaksanakan merger, SMBC ingin berkontribusi lebih besar lagi,” katanya.

Sementara itu, kredit ke sektor UKM tumbuh 13 persen menjadi Rp13,5 triliun, pembiayaan prasejahtera produktif meningkat 20 persen menjadi Rp7,5 triliun, dan pembiayaan konsumen melonjak 106 persen menjadi Rp6,11 triliun. Adapun kredit pensiun mengalami kontraksi 2 persen menjadi Rp37,7 triliun.

“Ke depan, kami berencana mengembangkan segmen komersial dan memperkuat retail banking. Produk dan layanan kami nantinya akan semakin lengkap,” lanjut Ongki.

Selain menjajaki peluang bisnis baru, katanya, Bank BTPN juga tetap konsisten menciptakan inovasi produk dan layanan berbasis digital, melalui BTPN Wow! dan Jenius, serta melakukan digitalisasi di existing business. Digitalisasi ini menjadikan BTPN lebih terintegrasi dan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan nasabah secara cepat, mudah, dan aman.

Baca juga: BTPN jamin tidak ada PHK setelah merger dengan Bank Jepang



Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019