Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.76/2007 tentang Perubahan Kelima atas PP No.14/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek menaikkan kualitas santunan bagi pekerja menjadi anggota program tersebut. Direktur Operasional dan Pelayanan PT Jamsostek Ahmad Anshori di Jakarta, Minggu, mengatakan PP No.76/2007 ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Desember 2007. PP itu sudah lama ditunggu pekerja karena isinya sangat menguntungkan pekerja yang menjadi peserta program Jamsostek. Melalui PP itu terjadi kenaikan jumlah santunan yang cukup signifikan bagi pekerja, seperti santunan Jaminan Kematian (JK) bagi janda/duda/anak pekerja yang sebelumnya Rp6 juta dan biaya pemakaman sebesar Rp1,5 juta naik menjadi Rp10 juta dan Rp2 juta. Santunan kematian karena kecelakaan kerja (JKK) juga naik cukup siginifikan, yakni dari 60 persen dikalikan 70 bulan upah, menjadi 60 persen dikalikan 80 bulan upah, sedangkan biaya pemakamannya dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta. "Bagi pekerja yang upahnya dilaporkan sebagian oleh perusahaan, maka akan tetap mengalami kerugian. Misalnya jika perusahaan hanya melaporkan upahnya Rp1 juta dari upahnya yang sebenarnya Rp2 juta, maka ahli waris pekerja hanya akan mendapat santunan 60 persen dikalikan Rp1 juta dikalikan 80 bulan," kata Anshori. "Coba dibandingkan jika 60 persen dikalikan Rp3 juta dikalikan 80 bulan," kata Anshori menambahkan. Karena itu, dia selalu mengimbau pekerja dan serikat pekerja untuk melaporkan jika perusahaan tidak melaporkan upah yang sebenarnya ke Depnakertrans atau Dinas Tenaga Kerja. Dia mensiyalir masih banyak perusahaan yang melaporkan sebagian upah pekerjanya, sementara PT Jamsostek tidak bisa berbuat banyak karena penegakan hukum ada pada pegawai pengawas di Depnakertrans dan Disnaker. Kenaikan juga terjadi pada santunan bagi pekerja yang cacat karena kecelakaan kerja, baik bagi yang mengalami cacat sebagian maupun cacat total. Plafon santunan biaya pengobatan/perawatan karena kecelakaan kerja juga naik dari maksimal Rp8 juta menjadi Rp12 juta. Pada bagian lain, Anshori menilai diperlukan pengkajian lagi tentang upaya peningkatan kepesertaan dalam program Jamsostek yang saat ini masih relatif masih rendah. Pola pelaksanaan program jaminan sosial di Indonesia berbeda dari di sejumlah negara, seperti dari Malaysia misalnya. Di Malaysia lembaga penyelenggara juga berwenang sebagai lembaga penegak hukum. Di negeri jiran (tetangga) itu EPF (jaminan sosial tenaga kerja Malaysia) bisa menyeret perusahaan yang nakal ke pengadilan. "Tidak hanya itu, perusahaan jika dalam tujuh hari tidak melaporkan perubahan upah pekerjanya ke EPF maka hari kedelapan maka dia akan mendapat panggilan dari pengadilan," kata Anshori. Kondisi itu menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah Malaysia pada perlindungan hak-hak normatif pekerja, khususnya jamian sosial, yang oleh ILO (Organisasi Buruh Dunia) dikategorikan sebagai hak asasi pekerja. Di Brunei, kondisinya juga hampir sama. Dari 69 pegawai lembaga penyelenggara jaminan sosial di sana, 19 di antaranya adalah pegawai pengawas. Sementara di Indonesia, wewenang penegakan hukum berada berada di Disnaker dan Depnakertrans, dan sejak pelaksanaan otonomi daerah, tidak ada satu pun perusahaan nakal yang diseret pegawai pengawas di Disnaker ke pengadilan. Dari sudut kelembagaan, badan penyelenggaranya juga berbentuk perusahaan terbatas persero miliki negara (BUMN). Artinya, sebagai PT persero, maka PT Jamsostek wajib membayar pajak dan memberi deviden kepada pemerintah, meskipun dana yang dikelola adalah dana buruh, kata Anshori. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007