Jakarta (ANTARA News) - Direktur SETARA Institute Hendardi menyatakan pemberian maaf terhadap mantan Presiden Soeharto merupakan urusan privat yang tidak boleh dicampur dengan urusan hukum. "Jadi, pemerintah jangan memasang muka sedih lantas menghentikan perkara Soeharto dengan memaafkan. Persoalan maaf-memaafkan biar berada di hati kita masing-masing. Ini masalah privat," katanya di Jakarta, Rabu. Hendardi mengemukakan hal itu sebelum menjadi pembicara dalam dialog bertajuk "Merespon Kesehatan Mantan Presiden Soeharto yang Kritis, Bagaimana Proses Hukum Selanjutnya?" yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Partai Buruh. Penghentian perkara hukum Pak Harto, kata Hendardi, akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia, apalagi pengadilan terhadap penguasa Orde Baru itu merupakan salah satu agenda reformasi. "Karena itu proses hukum harus dilanjutkan. Baik perkara pidana, perdata, maupun pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia)," kata mantan Direktur Eksekutif PBHI itu. Sementara itu Ketua Umum DPP Partai Buruh Muchtar Pakpahan menyatakan, persoalan maaf-memaafkan adalah suatu proses, ada yang meminta maaf dan ada yang dimintai maaf. "Lha Pak Harto mana pernah minta maaf, masak tiba-tiba kita harus memaafkan. Bisa-bisa kita nanti dituntut oleh keluarganya karena dianggap memfitnah bahwa Pak Harto telah minta maaf," katanya. Selain itu, tahanan politik Orde Baru itu mengatakan, meski pemberian maaf dilakukan, bukan berarti secara otomatis proses hukum selesai, karena pemberian maaf adalah urusan pribadi. Saat ditanya bukankah ketika lengser dalam pidatonya Pak Harto sempat meminta maaf, menurut Muchtar bukan begitu caranya meminta maaf. "Pidato Soeharto minta maaf saat itu sama saja dengan pidato tahun baru atau halal bi halal," katanya. Muchtar menampik keras jika keengganan memberikan maaf pada Pak Harto dianggap sebagai dendam. Persoalan utama, kata Muchtar, adalah penegakkan hukum dan keadilan. Pada kesempatan itu Muchtar mengajak masyarakat berempati pada para korban penguasa Orde Baru yang sangat tidak sedikit jumlahnya, tidak hanya berempati pada Soeharto. Lagi pula, kata Muchtar, saat ini Pak Harto telah mendapat perhatian dan layanan istimewa dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Presiden Soekarno ketika sakit hingga meninggal dunia tidak seorang pun keluarganya dapat menjenguk dan tidak difasilitasi secara memadai. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sakit berobat dengan biaya pribadi," katanya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008