Karanganyar (ANTARA News) - Sejak mantan Presiden Soeharto masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina, (4/1), hampir seluruh media menempatkan wartawannya di rumah sakit itu. Media massa juga menempatkan wartawannya di rumah keluarga besar Soeharto di Dalem Kalitan Solo, dan makam keluarga di Astana Giribangun, Desa Karangbangun, Kabupaten Karanganyar. Fluktuasi kondisi kesehatan Pak Harto dari kritis hingga titik sangat gawat, membuat banyak pihak, tidak terkecuali petinggi pemerintah, luar biasa sibuk untuk mengantisipasi kondisi terburuk yang dialami jenderal bintang lima tersebut. Kesibukan berhari-hari di Makam Astana Giribangun, tempat Ibu Tien Soeharto dikebumikan bersama kedua orangtua dan kakak perempuannya, menegaskan adanya persiapan menghadapi kemungkinan terburuk yang harus disiapkan sejak dini. Puluhan kursi lipat dan tenda yang disewa sejak beberapa hari lalu sudah diletakkan di belakang bangunan makam. Beberapa kali pejabat sipil, polisi, dan militer mengunjungi Astana Giribangun setelah Pak Harto sakit. Sejumlah stasiun televisi nasional menempatkan OB van untuk siaran langsung dari Giribangun. Pada Minggu (13/1), ketika Pak Harto dalam kondisi sangat kritis, digelar pertemuan antara wartawan televisi dan aparat keamanan untuk membicarakan rencana peliputan. Pertemuan di Masjid Giribangun yang ada dalam kompleks makam itu juga dihadiri petinggi Trans TV, Ishadi SK. Tapi, seperti halnya dengan kehidupan, kematian juga menyimpan misteri, hanya Tuhan yang mengetahui semua misteri itu. Ny. Pawiro (70), yang tinggal di kawasan bawah Makam Mangadeg memiliki pendapat soal kematian. Perginya nyawa manusia, katanya, ada jam dan harinya masing-masing karena itu dalam kondisi dan situasi apa pun, bila belum sampai pada jam dan harinya, ia (nyawa) tidak akan meninggalkan raga. Banyak kalangan yang menganggap semua persiapan itu seperti mendahului kehendak Tuhan atau yang dalam budaya Jawa dikenal sebagai nggege mongso, mendahului sebelum peristiwa terjadi. Tapi, ada pula yang menyebut, dalam konteks kenegaraan, persiapan tersebut wajar. Itu, mengingat sosok yang sedang menghadapi masa-masa kritis ini -- terlepas dari kontroversi yang muncul -- adalah tokoh besar, bukan hanya Indonesia, melainkan internasional. Kedatangan orang kuat Singapura Lee Kuan Yew dan mantan PM Malaysia Mahatir Mohammad menjenguk Soeharto di RSPP, membuktikan ketokohan Pak Harto. Hindari penggusuran Kalau merunut sejarah pembangunan Astana Giribangun, Ibu Tien dan Pak Harto tidak sedang melawan nilai Jawa nggege mongso, itu setidaknya menurut cerita dari Astana Giri Bangun. Menurut penuturan Sukirno, yang ikut terlibat pembangunan Astana Giribangun sejak awal (pada 1974), pembangunan makam di Bukit Ngipik itu karena Ibu Tien (almh) tidak ingin merepotkan anak cucunya kelak kemudian hari. Pembangunan makam ini selesai pada 1976. Sekitar tahun 1972, kata Sukirno yang juga Kepala Kantor Pengelola Makam Astana Giribangun, Pemda DKI Jakarta sedang gencar melakukan penggusuran kawasan, termasuk kompleks permakaman. Kondisi itulah yang menyebabkan Ibu Tien dan keluarganya gelisah, lalu mencari lokasi makam yang bebas dari penggusuran. Bukit Ngipik dipilih menjadi lokasi Astana Giribangun selain lokasinya jauh dari kota, sekitar 35 kilometer timur Surakarta, di sebelah timurnya juga terdapat Astana Mangadeg, tempat Raja Mangkunegara I, II, dan III dikebumikan. Ibu Tien atau Siti Hartinah yang dilahirkan di Jaten, Karanganyar itu merupakan keturanan Mangkunegara III. "Astana Giribangun diputuskan jadi lokasi makam keluarga setelah Ibu Tien dan Pak Harto ziarah ke Astana Mangadeg," kata Sukirno. Pencangkulan lahan pertama di makam ini dilakukan oleh Soemaharjomo, ibunda Siti Hartinah. Pembangunan Makam Astana Giribangun dikerjakan PT NSB yang dipimpin pengusaha nasional yang masih kerabat Keraton Mangkunegara, Soekamdani Sahid Gitosardjono. Lokasi Makam Astana Mangadeg memang berhimpitan dan terhubung dengan Astana Giribangun, hanya beda desa. Astana Mangadeg berada di Desa Girilayu, sedangkan Giribangun di Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih. Arsitek Astana Giribangun adalah Prof. Ir. Ali Surono, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ali pula yang kala itu memutuskan memotong 17 meter dari ketinggian Bukit Ngipik hingga sekarang ketinggiannya menjadi 666,66 meter. Menurut Achmad Markusni, karyawan Astana Giribangun yang bertindak sebagai pimpinan pembacaan Surat Yaasin dan tahlil selama Pak Harto sakit, jumlah ayat dalam Alquran itu sebanyak 6.666. Tetapi ia tidak berani mengait-kaitkannya karena hanya punya kesamaan angka (6) namun beda jumlahnya. "Saya tidak tahu kenapa angka ketinggian bukit ini bisa seperti jumlah ayat-ayat Alquran," katanya. Apakah itu secara kebetulan atau tidak, para juru rawat Makam Astana Giribangun tidak bisa menjelaskan. Sejak Ibu Tien Soeharto meninggal dunia tahun 1996, Astana Giribangun sering dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah untuk berziarah. Terakhir kali Pak Harto berziarah ke sini dua tahun lalu. Anggota keluarga yang terakhir berziarah ke sini sebelum Pak Harto masuk rumah sakit adalah anaknya, Mamiek. Apa pun kondisi kesehatan Pak Harto saat ini, semua juru rawat makam di Astana Giribangun tetap berharap Pak Harto segera sehat, agar pria berusia 86 tahun ini bisa berziarah kembali ke Astana Giribangun. Kesembuhan Pak Harto akan mengembalikan Astana Giribangun seperti hari-hari biasa, sunyi di tengah keasrian taman yang mengelilingi kompleks makam ini. (*)

Oleh Oleh Achmad Zaenal M & Hernawa
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008