Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung, Hendarman Supandji, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, menjelaskan kronologis pertemuannya dengan keluarga Presiden RI Periode 1966-1998, HM Soeharto, di di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pada Sabtu dinihari (12/1). Kepada wartawan yang menantinya seusai melakukan rapat terbatas dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai materi rapat konsultasi Pemerintah-DPR, Hendarman mengatakan bahwa kedatangannya ke RSPP pada Sabtu dinihari itu adalah sebagai jaksa pengacara negara. Sebelumnya, Sekretaris Kabinet (Seskab) Sudi Silalahi menjelaskan bahwa ketika Presiden Yudhoyono di Malaysia, Jumat (11/1) sekitar pukul 23.30 waktu setempat mendapat telepon dari Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla. Kalla mengatakan, dirinya mendapat telepon dari mantan Wapres RI, Try Sutrisno, yang mengemukakan bahwa keluarga Soeharto meminta, agar masalah hukum Soeharto diselesaikan malam itu juga. Berdasarkan hal itu, Presiden mengutus Hendarman untuk membicarakan masalah tersebut. Hendarman menjelaskan bahwa perintah dari Presiden Yudhoyono adalah meminta untuk bertemu dengan keluarga Soeharto untuk menanyakan hal tersebut. "Saya datang ke sana itu kan memegang surat kuasa dari Presiden. Saya kan jaksa pengacara negara, Jaksa Agung. Saya mendapat perintah, saya memegang surat kuasa Presiden. Kalau saya gugat tidak ada kuasa dari Presiden, itu kan tidak mungkin. Kalau ada yang meminta itu dicabut, apa maksudnya dengan dicabut?," jelasnya. Hendarman mengakui bahwa dirinya saat itu bertemu dengan anak-anak Soeharto, antara lain Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Siti Hediati Harijadi (Titiek), Bambang Trihatmodjo dan Hutomo Mandala Putra (Tommy), namun mereka tidak menyampaikan apa pun. Ia mengatakan, "Saya datang ke sana sebagai jaksa pengacara negara yang menerima kuasa. Sebab di pengadilan itu kan `win` (menang) dan `lose` (kalah), jika di luar pengadilan itu ada `win-win solution` (solusi yang menguntungkan kedua belah pihak). Nah, sekarang jika tidak, ya sudah." Selain itu, ia mengemukakan bahwa penyelesaian satu kasus perdata di luar pengadilan arahnya menuju perdamaian. Disebutkannya bahwa ada dua metode penyelesaian masalah jika pihak tergugat dan penggugat berbeda pendapat (Alternative Dispute Resolution/ADR), yaitu melalui arbitrasi dan penyelesaian di luar pengadilan. Untuk kasus perdata Soeharto, maka arbitrase tidak mungkin dilakukan, karena di dalam perjanjian tidak ada. Ditanya apakah merasa dipojokkan dalam kasus tersebut, Hendarman mengatakan, "Saya tidak merasa dipojokkan, karena UU yang dilaksanakan." Mengenai usulan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk menyelesaikan kasus perdata Soeharto hanya dengan sidang satu hari, Hendarman mengatakan bahwa itu tidak mungkin. "Mana mungkin, kan semuanya baru dihitung aset penyelesaiannya. Kita kan menuntut Rp4 triliun dan Rp6 triliun," ujarnya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008