Jakarta (ANTARA News) - Ketua umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jacob Nuwa Wea, membantah pendapat yang menyatakan PT Jamsostek sebagai sarang koruptor, meski beberapa pejabat perusahaan itu telah diseret ke pengadilan karena kasus korupsi. "Jika Ribka Tjiptaning (Komisi IX DPR) berpendapat demikian, maka (pendapat itu) tidak tepat karena dia tidak paham saja tentang Jamsostek," kata Jacob di Jakarta, Sabtu. Dijelaskannya, pekerja sangat membutuhkan perlindungan jaminan sosial karena itu merupakan hak normatif dan pengusaha wajib mendaftarkan pekerjanya. "Jika ada pengusaha yang melanggar maka harus diseret ke pengadilan karena mengabaikan hak dasar pekerja," kata Jacob. Dia menambahkan Depnakertrans dan dinas tenaga kerja di daerah harus menegakkan UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Dia menyatakan meskipun terdapat beberapa pejabat PT Jamsostek sebelumnya yang diseret ke pengadilan karena kasus korupsi bukan menjadi alasan untuk menyatakan PT Jamsostek sebagai sarang koruptor. "Termasuk, atas kasus (mantan Dirut PT Jamsostek) Achmad Djunaidi. Itu bukan mengindikasikan PT Jamsostek sebagai sarang koruptor," kata Jacob. Di sisi lain Jacob meminta komisi IX agar segera mengagendakan pembahasan revisi UU No.3/1992 agar mengubah status badan hukum PT Jamsostek dari persero menjadi waliamanah (trust fund) agar tidak ada kewajiban membayar pajak dan deviden. "Dengan demikian semua keuntungan dari pengelolaan dana Jamsostek dikembalikan ke pekerja," kata Jacob. Menyinggung keterwakilan pekerja di dewan komisaris PT Jamsostek, Jacob mengatakan sudah mengajukan surat ke Menakertrans dan Menneg BUMN agar mencopot Sjukur sebagai anggota komisaris karena dia tidak lagi mewakili KSPSI. Keliru Sebelumnya, Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso mengatakan seharusnya yang duduk sebagai anggota komisaris adalah wakil dari federasi serikat pekerja (SP) yang terbesar anggotanya. Berdasarkan verifikasi Depnakertrans SPN adalah federasi SP yang terbesar anggotanya, jauh lebih besar dibandingkan federasi-federasi di KSPSI maupun di KSBSI. Menyinggung usulan pembubaran PT Jamsostek dengan dalih sebagai sarang koruptor, Bambang mengatakan pendapat seperti itu sudah pasti keliru. "Desakan itu bertentangan dengan hak asasi pekerja untuk mendapat jaminan sosial (social security) sebagaimana yang disyaratkan UU No.3/1992," katanya. Diingatkannya, jaminan sosial adalah hak normatif (wajib) yang harus dimiliki pekerja, jika PT Jamsostek dibubarkan maka pemerintah, juga DPR melanggar UU yang sudah dibuatnya sendiri. Ketika ditanya tentang pendapat seorang anggota DPR yang menyatakan PT Jamsostek adalah sarang koruptor, Bambang mengatakan, "Jika demikian tunjuk saja orangnya (pejabat) dan tangkap," katanya. Dia mengingatkan agar jangan sampai karena ada satu dua tikus lalu lumbung dibakar. Artinya, jika ingin memberantas korupsi di PT Jamsostek, jangan sampai membubarkan lembaganya. Bambang mengingatkan kondisi buruh sejak reformasi dan berlakunya otonomi daerah memprihatinkan. Saat ini dari sekitar 30 juta pekerja formal hanya delapan juta pekerja yang menjadi peserta Jamsostek aktif. Kondisi itu terjadi karena sistem pemerintahan yang tidak kondusif bagi peningkatan kepesertaan Jamsostek. Depnakertrans kini tidak lagi memiliki wewenang (tali komando) di daerah. Pegawai pengawas di Disnaker daerah berinduk pada bupati, walikota dan gubernur. Pegawai pengawas yang memiliki idealis untuk membela pekerja dan menegakkan hukum UU No3/1992 tentang Jamsostek dipindahkan. UU No.3/1992 menyatakan perusahaan yang memenuhi syarat dan tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek diancam sanksi enam bulan penjara dan denda Rp50 juta. Bambang mencontohkan, di Salatiga, Jateng, terdapat perusahaan tekstil yang memiliki buruh 11.000 orang yang yang tidak mengikutsertakannya dalam program Jamsostek. Pegawai pengawas yang akan menegakkan hukum dipindahkan. "Kita sudah mencoba melobi ke Bupati, Gubernur, kepolisian dan kejaksaan. Semua mentok, bahkan anggota Komisi IX pun tidak bisa masuk ke pabrik tersebut" kata Bambang. "Ada apa ini?" katanya. Kondisi demikian, kata Bambang yang juga pegawai pabrik tekstil itu, tidak bisa dibiarkan. "Pemerintah jika membiarkannya maka akan tercipta kondisi putus asa dan buruh akan bertindak dekstruktif," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008