Denpasar (ANTARA News) - Bali kerap menjadi tuan rumah bagi pertemuan internasional, namun tidak semuanya membawa dampak positif bagi citra pariwisata Pulau Dewata, karena juga berdampak negatif bagi sumber daya alam. "Hal itu berdasarkan asumsi yang paling minim, yakni peserta tiga ribu orang saja membutuhkan 30 juta liter air selama 10 hari. Pertanyaannya, jatah air petani atau masyarakat kecil mana yang diambil untuk memasok kebutuhan peserta konferensi," kata Hira Jhamtani selaku wakil Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim di Denpasar, Selasa. Dalam Lokakarya dan diskusi pasca konferensi PBB tentang perubahan iklim dan tindak lanjut kampanye "Nyepi" untuk dunia itu, Hira mengatakan, tidaklah sebanding dengan biaya ekonomi yang telah dikeluarkan dan biaya lingkungan yang ditanggung Bali selaku tuan rumah pertemuan itu, dibanding pendapatan secara nyata. "Begitu juga mengenai `Bali Action Plan` yang dihasilkan dalam KTT PBB tentang Perubahan Iklim pada Desember 2007 lalu, masih merupakan rekomendasi dan memerlukan pembahasan jangka panjang," katanya. Menurut dia, tanpa harus menunggu "Bali Action Plan" yang penyeselesaiannya memerlukan waktu panjang, pemerintah seharusnya mulai menyusun rencana aksi daerah untuk menyiapkan langkah adaptasi dan mitigasi, karena Bali merupakan pulau yang rentan terhadap masalah itu. Sementara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Ni Nyoman Sri Widhiyanti SH mengatakan, terkait "Nyepi untuk dunia" telah diupayakan diperkenalkan kepada masyarakat internasional. Konsep "Nyepi" yang diharapkan diberlakukan di dunia, dalam upaya mengurangi emisi karbondioksida (CO2), diperkenalkan saat konferensi PBB tentang perubahan iklim tersebut. "Bahkan film Nyepi (hening dunia) berdurasi satu menit itu diputar, peserta UNFCCC tercengang dan kagum. Setelah itu peserta baru tau Bali telah memiliki keunikan budaya yang berimbas pada lingkungan yaitu `Nyepi`," katanya. Lebih lanjut dia mengatakan, laporan melalui kegiatan ini merupakan tanggungjawab moral kepada masyarakat, karena ini merupakan hak kolektif masyarakat penghuni Pulau Dewata. "Dengan demikian masyarakat Bali agar semua mengetahui, perjuangan yang kami lakukan dengan kawan-kawan di LSM sebagai langkah untuk menjaga lingkungan dan mengajak masyarakat dunia untuk mengurangi emisi CO2," kata Widhiyanti.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008