Jakarta (ANTARA) - Sayur-mayur merupakan komoditas utama yang dijual di pasar-pasar tradisional. Dinamika perkembangan harganya selalu menjadi perhatian.

Komoditas yang satu ini memiliki banyak tuntutan. Penanganan pascapanen yang tidak baik dan distribusi yang tidak efisien sering kali menyebabkan produk mengalami penurunan mutu, busuk, layu, tidak tahan lama disimpan, dan tidak higienis.

Di sisi lain, iklim yang tidak menentu turut memengaruhi hasil kualitas komoditas itu.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui situs resmi menyebutkan April adalah awal kemarau 2019 dan Indonesia tahun ini akan menghadapi fenomena iklim El Nino sebesar 55 sampai 60 persen, kemudian mulai Juli hingga September 2019 iklim diprediksi lebih kering.

Mengantisipasi kekeringan, irigasi adalah cara yang paling cocok untuk mengatasinya. Jika sudah ada irigasi, pola penanaman petani menjadi faktor penting dalam mengendalikan produksi tanaman pangan sehingga harga di pasar tetap stabil.

Bicara soal sayur-mayur, Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur tidak bisa dilupakan. Pasar yang mempunyai luas 14,7 hektare dan menampung lebih dari 4.000 pedagang ini merupakan pusat agrobisnis sayur-mayur, buah-buahan, rempah, dan ubi terbesar di Jakarta.

Menurut catatan harga komoditas di Pasar Induk Kramat Jati, rata-rata harga sayur-mayur selama periode Juni s.d. Juli 2019 mengalami penaikan, di antaranya cabai rawit merah dan hijau, timun, terong, kentang, kol, dan sawi hijau.

Komoditas cabai rawit mengalami kenaikan paling tinggi dibandingkan dengan sayur-mayur lain, yaitu sekitar 40 s.d. -45 persen pada periode Juni s.d. Juli 2019.

Untuk cabai rawit merah, misalnya, naik dari Rp20 ribu per kilogram menjadi Rp43 ribu/kg, meningkat 40,90 persen. Sementara harga cabai rawit hijau naik 46 persen menjadi Rp46 ribu/kg dari sebelumnya Rp21 ribu/kg.

"Kenaikan sayur-mayur bervariasi, secara umum kenaikannya sekitar lima persen hingga 45 persen, cabai paling tinggi kenaikannya," papar Staff Usaha dan Pengembangan Pasar Induk Kramat Jati Wahyu Ibrahim.

Menurut dia, musim kemarau yang sedang terjadi di beberapa kawasan pemasok menjadi salah satu faktor yang membuat harga cabai naik dalam beberapa bulan terakhir.
 
Pedagang cabai di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur menata dagangan seraya menunggu pembeli di Jakarta, Senin (8-7-2019). (Foto: Zubi Mahrofi)

Pasokan Menurun

Berdasarkan catatan harga komoditas di Pasar Induk Kramat Jati, pasokan cabai cenderung mengalami penurunan. Cabai rawit merah, misalnya, pasokannya turun dari 54 ton pada pertengahan Juni menjadi 39 ton pada tanggal 8 Juli.

Pada periode sama, cabai merah besar turun dari 9 ton menjadi 7 ton. Cabai rawit hijau juga menurun dari 13 ton menjadi 9 ton. Hanya cabai merah keriting yang pasokannya meningkat dari 29 ton menjadi 40 ton.

Selain karena kondisi kemarau, kata Wahyu Ibrahim, penurunan pasokan juga disebabkan oleh produktivitas hasil panen yang lebih rendah daripada kondisi normal.

Pedagang cabai di Pasar Induk Kramat Jati Dwi meminta pemerintah mengantisipasi kenaikan harga cabai seiring dengan jumlah pasokan dari petani yang mulai menurun.

Harga cabai mulai merangkak naik dalam 2 bulan terakhir karena produksi petani menurun akibat kemarau. Hal itu harus diantisipasi dari sekarang. Kalau tidak, menurut Dwi, di akhir tahun nanti bakal melambung lagi seperti kejadian pada tahun 2016 yang menembus Rp125 ribu/kg .

Menurut dia, pemerintah harus dapat mengatur pola tanam petani dengan mengatur panen cabai setiap 3 bulan sekali. Misalnya, agar panen November s.d. Desember, petani menanam cabai rawit pada bulan ini atau Agustus s.d. September.

"Jadi, setiap bulannya harga bisa terkontrol. Jangan nanti kalau naik signifikan, pedagang yang disalahkan," ucapnya.

Pengunjung pasar Rina (45) menyatakan sepakat mengenai pemerintah harus mengantisipasi kenaikan cabai ke depannya. Cabai mulai naik harganya, harga makanan jual juga bakal naik nantinya.

"Pemerintah harus antisipasi," ujar Rina yang mengaku memiliki warung makan sederhana.

Cabai saat ini memang tengah pedas. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat cabai merah merupakan salah satu pemicu inflasi pada bulan Juni 2019. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan bahwa kenaikan harga cabai disebabkan oleh cuaca yang kurang mendukung.

BPS juga mencatat kelompok bahan makanan di DKI Jakarta mengalami inflasi 1,3 persen, salah satu yang memberi andil terhadap inflasi adalah subkelompok sayur-mayur, cabai termasuk di dalamnya, yaitu sebesar 4,75 persen.


Kecepatan Distribusi

Wahyu menegaskan bahwa kenaikan harga cabai bukan terjadi karena distribusi yang tersendat. Harga cabai meningkat karena musim kemarau yang melanda sentra cabai sehingga pasokan berkurang.

Menurut dia, distribusi sayur-mayur ke Jakarta justru kian membaik. Kecepatan distribusi tidak lepas dari faktor transportasi dan infrastruktur pendukung. Gencarnya pemerintah membangun infrastruktur jalan membuat jalur distribusi komoditas pangan makin lancar. Tanpa adanya pembangunan infrastruktur, jangan harap memperlancar distribusi logistik makin cepat.

"Kita semua tahu, banyak infrastruktur jalan dibangun pemerintah di sejumlah daerah sehingga memperlancar pasokan sayur-mayur dan buah-buahan di Pasar Induk Kramat Jati," ujar Wahyu Ibrahim.

Seperti diketahui, pemerintah tengah gencar membangun infrastruktur, baik itu jalan maupun waduk untuk menampung kebutuhan air petani. Di Pulau Jawa, pemerintah telah menghubungkan jalur dari Banten menuju Jawa Timur melalui Tol Transjawa, salah satu tujuannya mempermudah distribusi barang.

Pemerintah juga tengah menggenjot pembangunan tol di Pulau Sumatra dan Sulawesi dengan tujuan yang sama.

Di sisi lain, pemerintah juga membangun lebih banyak bendungan untuk menampung air yang akan dialirkan ke lahan pertanian petani.

Dalam kurun 2015 s.d. 2019, pemerintah menargetkan pembangunan dan perbaikan 56 bendungan. Dari jumlah itu, sekitar 14 bendungan telah beroperasi atau dalam tahap finalisasi.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019