Oleh Maria D. Andriana Jakarta (ANTARA News) - Probosutejo, pengusaha yang akan menghirup kebebasannya pada Rabu (12/3) pukul 00.00 WIB dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung, menyampaikan niatnya untuk beraktivitas kembali di tengah-tengah masyarakat, khususnya di tengah petani. "Saya akan menanam padi organik pada sepuluh ribu hektare sawah," ujar Probo dalam bincang-bincang di Rumah Singgah, yaitu bangunan khusus di kompleks LP Sukamiskin yang telah dihuninya sekitar tiga bulan terakhir dalam masa sosialisasi menjelang pembebasannya. Probo mendapat pembebasan bersyarat setelah menjalani hukuman kurungan badan sekitar dua per tiga (2/3) dari masa tahanan empat tahun, termasuk remisi (pengurangan hukuman) yang telah diterimanya. Adik Soeharto, Presiden RI periode 1966-1998, itu menjadi terpidana dalam kasus penggelembungan biaya (mark up) dana reboisasi untuk pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kalimantan Selatan. Menurut Probo, selama menjalani masa hukuman di LP Cipinang di Jakarta kemudian berlanjut di Sukamiskin, Bandung, ia tidak tenggelam dalam keputusasaan atau kesedihan, melainkan justru memanfaatkan waktunya untuk berolahpikir dan beraktivitas. Hasil yang dicapai adalah kemampuannya untuk membentuk tim dalam program penanaman padi organik yang hasilnya disebut sangat baik untuk meningkatkan produksi padi dalam jumlah dan kualitas. Tim yang kemudian dinamakan Teja Kencana Tani Makmur dan bernaung di Pak Harto Center itu mengklaim mampu memproduksi padi organik dengan hasil di atas 10 ton per hektare. Jumlah itu lebih tinggi 100 persen dibanding rata-rata produksi padi saat ini yang dikelola secara konvensional. Probo juga menawarkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan petani dan pemilik lahan untuk menggarap sawah mereka serta memberikan sistem bagi hasil yang cukup tinggi dibanding penghasilan yang selama ini diperoleh petani. "Petani tidak perlu menyediakan biaya produksi, tetapi hanya menyediakan sawah. Untuk setiap satu hektare sawah, saat panen petani akan mendapat hasil bersih Rp10 juta yang dihitung dari nilai setara lima ton beras," ujarnya. Dalam sistem pertanian konvensional, petani atau pemilik lahan hanya memperoleh keuntungan sekitar Rp2.000.000 per hektare dalam sekali panen, setelah mengeluarkan biaya produksi (untuk membeli benih, pupuk, pestisida dan ongkos kerja) sekira Rp4 juta. Keunggulan lain dari sitem tanam yang diperkenalkan tim Probo tersebut adalah penggunaan pupuk dan pestisida organik yang aman bagi tanaman maupun lingkungan, dan sama sekali tidak mengggunakan pupuk dan pestisida kimia. Probo menegaskan keinginannya untuk mengembangkan lahan produksi padi organik di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). "Selain mengarah pada swasembada beras, memproduksi beras yang berkualitas tinggi, sistem ini juga ramah lingkungan dan meningkatkan penghasilan petani," ujar Probo yang ketika wawancara dengan ANTARA News mengenakan jaket putih berlogo Mercu Buana. Langkahnya merangkul petani dalam kerja sama tersebut juga merupakan wujud nyata dari pesan yang pernah disampaikan Soeharto, ketika sudah lengser dari jabatan Presiden RI kedua. Ketika itu, menurut dia, Soeharto menyaksikan televisi yang menayangkan berita tentang kemiskinan, tepatnya gambar rakyat yang antri beras. "Pak Harto berpesan, `kalian yang masih muda, tolong urusi mereka`," kata Probo, dengan mata yang menerawang ke halaman rumah singgah yang berumput hijau dan tanahnya gembur ditandai lubang-lubang cacing di sana-sini. Tanah pekarangan tersebut digemburkan dengan pupuk organik ciptaan tim Teja Kencana Tani Makmur. Enzimatik Pupuk organik yang dinamai Cendana 1 dan Cendana 2, serta pestisida bernama Cendana 3 itu merupakan ramuan khusus hasil temuan Achmad Boedhihardjo, seorang arsitek yang secara khusus mengembangkannya sejak tujuh tahun lalu. "Pada awalnya banyak orang tidak percaya akan kemanjuran pupuk kami, bahkan banyak ahli petanian yang meragukannya, tetapi dalam uji coba selama ini telah terbukti sawah yang kami olah dapat memproduksi sampai 10 ton per hektare," ujar Boedhi. Ia menjelaskan, pupuk organik yang dikembangkannya bekerja seperti enzim, yang dapat menjadi perangsang (stimulan) bagi alam untuk mengolah dan menghasilkan sendiri unsur-unsur penyubur yang diperlukan tanaman. "Tanah yang kami pupuk menjadi gembur, cacing tumbuh, sinar matahari juga dapat berproses di dalam tanah untuk menyuburkan lahan," ujar Boedhi dengan wajah berseri-seri dan suara penuh semangat, yang saat itu menyertai Probosutedjo. Pada percobaan pertama hasilnya baru tujuh ton, tetapi pada panen kedua sudah menghasilkan di atas 10 ton per hektare. Lahan yang sudah diuji, menurut dia, antara lain di Sumedang dan Indramayu yang dikerjakan bersistem kelompok tani yang merangkul pemilik lahan dalam skala kecil, seperti seperempat hektare hingga petani yang memiliki lahan di atas 100 hektare. Boedhi menjelaskan bahwa senyampang mengembangkan lahan, tim tersebut juga terus melakukan penataan Sumber Daya Manusia (SDM) dan tata kelola yang terus menerus dievaluasi untuk menghasilkan kinerja yang efisien dan efektif, menyangkut kejujuran dan keterbukaan dengan mengutamakan kesejahteraan petani. "Harus sama-sama untung, agar petani bergairah mengikuti program ini," tutur Probo, yang sudah bersiap melakukan safari sosialisasi program ke seluruh Jawa, NTB dan NTT segera setelah masa kebebasannya dari LP Sukamiskin. Keinginan untuk melayani rakyat diwujudkan pula dengan keputusan tim tersebut untuk tidak membuat hak paten atas pupuk organik yang mereka ciptakan, bahkan rela membagikan cara membuat pupuk tersebut kepada siapa pun yang berminat. "Siapa saja boleh meniru," kata Probo, meskipun Cendana 1,2 dan 3 itu tidak diperjualbelikan. Padi, menurut Probo, adalah tanaman yang penting bagi orang Indonesia sebagai konsumen beras dan kekayaan alam berupa lahan yang subur di Indonesia menjadi modal yang potensial untuk mengembangkan tanaman rumput-rumputan tersebut sebagai komoditas yang berpotensi menjadi penghasil devisa negara. "Jika Indonesia bisa swasembada dan mengalami surplus, maka bisa mengekspor beras ke China, misalnya," kata Probo. Ia pun menambahkan bahwa kebutuhan beras China mencapai 100 juta ton per tahun. Probo juga meyakinkan bahwa tatacara bercocok tanam organik yang dikembangkannya itu tidak memerlukan lahan yang luas, sehingga tidak perlu mencetak sawah-sawah baru, melainkan cukup meningkatkan produksi dari lahan yang tersedia. Jumlah areal sawah di seluruh Indonesia mencapai sekitar 7 juta hektare dengan areal panen mencapai 11,7 juta hektare dan panen dua kali dalam setahun. Dari jumlah itu, luas areal sawah di Jawa mencapai sekitar 60 persen, atau sekitar 4 juta hektare, sedangkan kebutuhan beras nasional per tahun mencapai 30 hingga 31 juta ton beras. Probo memperkirakan, dengan menerapkan cara bercocok tanam yang dikembangkannya di lahan sawah hanya di Pulau Jawa saja, maka kebutuhan padi atau beras nasional dapat dipenuhi. "Tapi, saya sekarang hanya mampu mengembangkan pada 10.000 hektare," ujar Probo, yang mengaku menanamkan dana Rp10 miliar untuk program tersebut. Untuk mencapai target swasembada beras yang dimaksudnya, maka pemerintah harus terlibat dalam hal penyediaan dana dan kesempatan. Menerima dan menjalani Keputusan untuk menggarap tanaman padi organik itu diakui Probosutejo sebagai hikmah yang dipetiknya selama menjalani masa hukuman, bahkan juga sempat diuji di lingkungan LP Sukamiskin, termasuk penyelenggaraan lokakarya tentang program itu. "Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum saya tidak bisa ditolak, meskipun saya merasa kesalahan yang dituduhkan kepada saya tidak terbukti. Tetapi, saya menerima dan menjalaninya saja," kata Probo yang sudah mengembalikan dana reboisasi HTI Hutan Menara Buana senilai Rp100.931.585.000 kepada negara, dan juga denda Rp30 juta sesuai keputusan MA bagi dirinya. Bagi seorang Probo, menjalani hukuman di LP memang dirasakan berat, tetapi tidak membuatnya tenggelam dalam kesedihan. "Saya melupakan kehidupan mapan yang telah saya jalani, tetapi mengenang kembali masa-masa awal perjuangan hidup ketika bekerja di hutan, dan saat menjadi guru di Sumatera Utara," katanya. Pada masa mudanya Probo mengaku terbiasa hidup di hutan bekerja di perusahaan penebangan kayu kemudian menjadi guru Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keputusan merantau itu dilakukan ketika ia mengaku jenuh menjalani hidup di kota Yogyakarta, kampung halamannya, seusai melaksanakan perang gerilya melawan Belanda pada akhir dekade 1940-an. Bahwa kemudian Probo beranjak menjadi salah seorang pengusaha ternama di Indonesia, ia mengaku hal itu terjadi berkat ketekunannya dalam bekerja. "Saya tidak mengingkari bahwa saya memperoleh kemudahan akses bertemu dengan orang-orang penting di Indonesia maupun mancanegara karena saya adik Pak Harto, tetapi saya tidak mendapat fasilitas khusus dari Pak Harto. Saya bekerja keras untuk meraih keberhasilan," ujarnya menegaskan. Setelah pembebasan dari LP Sukamiskin, Probo mengaku tidak perlu berlama-lama menunggu untuk melaksanakan safari keliling Jawa, NTB dan NTT. "Saya ingin membantu rakyat lewat pertanian dan peternakan," katanya, ketika menjamu sejumlah tamu di rumah tinggal, dengan sup kambing yang diolahnya sendiri. Penanggalan di ruang makan saat itu menunjuk 9 Maret 2008. Tanggal-tanggal selanjutnya menjanjikan kebebasan bagi Probo, sementara angka tanggal satu sampai delapan telah dicoret dengan tanda silang berukuran tebal dan berwarna hitam, menandakan masa-masa kurungan yang dijalaninya. Setelah itu, petani menunggu Probo di sawah-sawah mereka. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008